Soloensis

Mencari Sekolah

Mencari sekolah buat anak itu seru. Tak bisa asal pilih, dan tak mudah mencari apa yang kita mau. Terkadang beragam kriteria yang sudah kita rancang meleset begitu sudah tanya sana sini, masuk ke sekolah-sekolah yang jadi incaran. Dari lima kriteria misalnya, yang empat sudah cocok, nggak ada masalah. Eh satu kriteria gagal terpenuhi. Tak puas, akhirnya batal.

Nah, ini pengalaman saya mencari informasi sekolah untuk si bungsu. Anak saya ini perempuan. Baru TK A. sejatinya, anak perempuan saya tahun ini belum akan masuk SD. Usianya belum genap 6 tahun. Nanti saat usianya genap 7 tahun, baru saya masukkan SD. Biarlah dia menikmati masa-masa bermainnya dulu di TK. Kakaknya, lelaki, sudah lebih dulu saya sekolahkan di sekolah inklusi di Jogja. Di SD Tumbuh, seperti yang sudah saya tulis beberapa kali di Soloensis ini.

Sesungguhnya mudah saja jika saya memasukkan si bungsu satu sekolahan dengan kakaknya. Toh saya sudah cocok dengan pola pengajaran dan pendidikan yang ada di sekolah itu. Namun saya dan istri penasaran juga dengan beragam penawaran dari sekolah-sekolah lain, khususnya sekolah swasta di Kota Pelajar ini, dan kami berniat “membandingkan”.

Dalam satu kesempatan, kami—saya dan istri—mampir ke sebuah sekolah yang mempromosikan diri sebagai sekolah multikultural. Kami kumpulkan banyak informasi dari sekolah tersebut. Mulai dari sistem pendidikan, kurikulum, kompetensi guru, dan tak lupa, biayanya. Intinya, semua klop dengan kriteria yang kami cari. Sayang, sekolah yang menyebutkan diri sebagai sekolah nasional dan multikultural ini belum bisa menerima siswa yang mengenakan atribut identitas keagamaan anak saya. Padahal di sekolah kakaknya, yang juga multikultural, hal itu tak jadi masalah. “Bagaimana mau mengajarkan keberagaman kalau sejak awal diseragamkan?” kata istri saya. Saya pun mengamini perkataannya.

Di lain waktu, kami kembali mampir ke sebuah sekolah swasta. Promosinya gencar. Sudah punya gedung sendiri. Fasilitasnya lengkap. Siswa dijamin nyaman bersekolah. Tentu saja fasilitas yang wah diiringi dengan biaya pendidikan yang lumayan tinggi, termasuk biaya tahunannya yang bikin mata terbelalak. Lagi-lagi, karena di benak kami referensi pembandingnya adalah sekolah anak saya yang pertama, lekas kami coret dari daftar. Bukan penonjolan fisik gedung yang kami cari.
Selang beberapa hari kemudian, istri saya berulang kali ditelepon sekolah bersangkutan. Dibujuk agar anak saya disekolahkan saja di sana. Wew, saya justru bingung. Kalau memang sekolah top, favorit, tentunya tak akan kesulitan cari murid. Pikir saya, kalo berulang kali menelepon, apa mereka sulit cari murid? Ah entahlah.

Nah hlo, mencari sekolah buat buah hati memang enggak mudah. Butuh pemikiran, butuh diskusi, butuh referensi, sebelum memutuskan untuk mempercayakan pendidikan anak kepada sekolah. Jangan sampai di tengah jalan si anak jadi enggak nyaman, dan kita harus memindahkannya ke sekolah lain.
Bagi saya, sekolah bukan tempat yang menakutkan. Sekolah harus jadi taman bermain yang menyenangkan buat anak-anak. Tempat dia bisa mengekspresikan segenap kemampuan yang dia miliki, mengembangkan bakat dan minat yang dia punyai, dan tempat untuk belajar arti toleransi serta keberagaman.
So, kalau ada info menarik tentang sekolah, mungkin saya bisa dikasih tahu. Sambil menunggu, saya tak melanjutkan jalan-jalan dulu, hehehe…

kredit foto:https://ihom.hwcdsb.ca/

Apakah tulisan ini membantu ?

Add comment