Soloensis

Pahit dan Manis Pare

          Bahasa merupakan salah satu faktor yang mendukung kelancaran komunikasi, selain itu bahasa juga membantu menunjang karier individu. Dewasa ini, banyak institusi menuntut setiap orang untuk bisa berbahasa asing bahkan ditingkat pendidikan sekolah dasar. Tentunya demi mengejar kemampuan berbahasa asing tersebut, banyak orang yang rela merogoh uang cukup dalam dan mengosongkan waktu demi mengikuti berbagai macam kursus ataupun membeli buku kiat-kiat sukses berbahasa asing.

            Tidak bisa ditampik, bahasa asing saat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia mulai dari siswa sekolah untuk menunjunag nilai ujian mereka, tingkat perguruan tinggi sebagai syarat kelulusan hingga ada pula perusahaan yang mewajibkan cakap berbahasa asing bagi para karyawannya. Terlebih, sejak 2015 silam telah terjalain kerjasama di Asia Tenggara yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), mengutip dari BBC Indonesia dalam kerjasama terebut tenaga kerja asing diberi kemuduhan bekerja di Asia Tenggara, begitupun dengan masyarakat Indonesia yang juga mendapatkan porsi yang sama namun, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah kemumpuan bahasa inggris yang mumpuni.

       Semenjak itu lembaga kursus bahasa nggris mulai menjamur, mengutip dari Industri Bisnis , jumlah lembaga kursus bahasa inggris di Indonesia pada 2015 sendiri sekitar 4.583, jumlah tersebut masih bisa bertambah karena banyak lembaga kursus yang belum mendaftarkan instansinya atau ilegal.

       Salah satu tempat yang menjadi primadona dalam mempelajari bahasa asing adalah Tulungrejo dan Pare, Kediri, Jawa Timur. Masyarakat sendiri mengenalnya dengan Kampung Inggris, meskipun ditempat tesebut juga tersedia kursus bahasa asing lainnya seperti, bahasa arab, perancis, mandarin dan lainnnya. Kampung Inggris dulu tentunya tidak sebesar sekarang, Kalend Osen sebagai pemilik lembaga Basic English Course (BEC) sekaligus penggagas kampung inggris di Pare. Mengutip dari regional kompas , berawal dari menggantikan gurunya dalam mengajar bahasa inggris Kalend pun mulai membuka lembaga lembaga kursusnya sendiri pada Juni 1977 silam. Berawal dengan 6 siswa kemudian terus bertambah bahkan melibihi kuota BEC, dia pun mendorong alumni terbaik BEC untuk membuka kursus serupa disekitar BEC, hingga akhirnya Kampung Inggris bisa besar seperti sekarang.

           Salah satu yang menjadi alumni Kampung Inggris adalah, Azimatu Tsulasiyah Asyrofi (19). Azim begitu sapaanya mengatakan “Jadi, Kampung Inggris itu kayak rumahan-rumahan terus ada kursusnya. Walaupun gak semua. Kalau lembaganya besar biasanya udah punya gedung dan asrama” begitu tutur gadis asal Sumber Lawang, Sragen tersebut. Jumlah lembaga kursus bahasa di Kampung Inggris diperkirakan lebih dari 200 lembaga. Meskipun menggunakan istilah kampung, Kampung Inggris memiliki peradaban yang maju. Terdadat banyak café, minimarket maupun toko oleh-oleh, “Iya, jadi godaan terbesar disana toko-toko itu. Kalau kalap uang saku 1 bulan bisa habis buat 1 hari” ungkap mahasiswi Hukum Ekonomi Syariah, IAIN Surakarta tersebut.

          Namun, hal yang berbeda dirasakan oleh Nasia Yunita Sari (20). Mahasiswi Pendidikan Bahasa Arab, IAIN Surakarta tersebut mengaku merasa terasingkan, “Karena aku ada di pinggiran Kampung Tegalrejo dan Kampung Pare. Soalnya kursus bahasa arab gak ada yang ditengah kampung, jadi agak jauh dari pertokoan” ungkapnya. Selama disana ia harus mau makan apa adanya, jika pun ingin makan yang berbeda harus pergi di tengah kampung. Meskipun demikian, ia cukup senang bisa hidup ‘prihatin’ karena uang sakunya hanya berkurang sedikit. “Uang saku hanya berkurang sedikit, karena dideket sana cuma ada penjual pecel. Paling sekali makan habis enam ribu, tujuh ribu” ungkap gadis asal Polokarto, Sukoharjo tersebut.

         Selama di Kampung Inggris kita bisa memilih dimana akan tingggal, terdapat kos yang bisa disewa mingguan, kontrakan dan asrama yang dimiliki oleh lembaga kursus itu sendiri. Azim mengatakan bahwa jika ingin lebih menguasai bahasa inggris lebih baik sekaligus menyewa asmara milik lembaga “Jadi, ada beberapa lembaga yang punya asrama dan asmara itu tentunya punya aturan. Salah satu aturannya harus berbica bahasa asing di asrama” tambahnya. Namun, jika peserta ingin menginap diluar asrama atau kost juga diizinkan oleh lembaga kursus. Tapi, jangan membayangkan jika wajib berbahsa inggris juga diterapkan di luar asrama dan tempat belajar. Penjual, penjaga toko maupun warga sekitar, tetap berbahasa daerah maupun Indonesia.

         Meskipun ada juga penjual maupun pemilik kost yang berusaha berbahasa inggris apa adanya dengan logat khasnya. Selain memiliki toko-toko, Kampung Inggris juga memiliki tempat ibadah yang lengkap, Kampung Inggris juga terdapat persewaan, baik motor maupun sepeda onthel. Tapi yang menjadi primadona adalah sepeda onthel, kegunaan sepeda onthel di Pare sendiri bisa dibiang sangat penting, karena mode transportasi tersebut murah dan cepat bagai anak-anak rantau. Belum ada data resmi soal jumlah pasti siswa luar jawa yang belajar di Pare, namun minoritas siswa disana adalah luar Jawa Tengah dan Jawa Timur.

       Selain jangan terlalu mengharapakan adanya lingkuan yang sanagat berbahasa asing sekali, harapan yang harus dipupus adalah adanya native asing. Karena ditempat tersebut warga negara asing termasuk langka. Hanya lembaga besar saja yang mampu mendatangkan native asing, itupun hanya satu atau dua native asing. Mayoritas pengajar adalah alumni lembaga kursus tempat dulunya ia belajar, maupun alumni lembaga kursus lainnya. Meskipun terdapaat lebih dari 200 lembaga kursus bahasa inggris, tidak ada persaingan sengit ataupun iri karena anatara pemilik lembaga memiliki kertaikatan sejarah awal berdiri yang sama. Hal yang sama juga terjadi di lembaga kursus bahasa asing lainnya.

        Awal pembelajaran kampung inggris dan kampung bahasa lainnnya dimulai pada tanggal 10 dan 25 setiap bulannnya dan Kampung Pare hanya mengenal hari libur pada sabtu dan minggu, sehingga tempat tersebut selalu ramai. Seperti pada umumnya, dimana ada keramainan disitulah ada kejahatan. Kejahatan yang sering terjadi tentunya berupa pencurian, “Kalau di pare itu harus waspada jangan sampai telodor. Sudah waspada dan tidak telodor pun barang kita masih bisa dicuri” kata Azim. Nasia membenarkan Pare rawan pencurian, bahkan hal itu pernah menimpa orang terdekatnya sendiri, “Teman satu kamarku, harus ganti sepeda yang disewanya soalnya dicuri. Padahal sudah digembok” pungkasnya.

        Meskipun rawan kejahatan dan banyak godaan, keduannya mengaku jika ada kesempatan untuk belajar di Pare, mereka pasti berangkat “Iya, mau. Tapi pengennya belajar 6 bulan disana, biar mahir” tutur Nasia, sedangkan Azim ingin memperdalam TOEFL atau IELTS. Mereka mengungkapkan lingkungan disana sangat mendukung untuk berbahsa asing, sehingga mempermudah mereka dalam belajar.

       Sebagai tambahan, akses transportasi dari terminal, stasiun, dan bandara menuju Kampung Pare sanagt jauh, “Iya, jauh banget dari stasiun ke kampung pare itu 3 jam, nanti masih niak bus, becak terus jalan kaki lagi. Jadi, harus memperhitungkan waktu berangkat dan hati-hati sama ulah calo. Kalau pengen aman dan cepet bisa pakai jasa jemput dari lembaga kursus tapi mahal” tutp Azim.

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Hanif Wulandari

    Mahasiswi IAIN Surakarta

    View all posts

    Add comment