Soloensis

DESA KALANGAN : KETIKA KEHARMONISAN AGAMA, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN DISATUKAN

Kampung adalah dimana kita tinggal. Dimana kita mengukir kenangan-kenangan masa-masa kecil kita. Setiap kenangan memiliki nilai tersendiri jika kita membayangkannya. Hal yang paling saya ingat yaitu di Desa saya, Desa Ketitang, tepatnya di Dukuh Kalangan adalah masih rimbunnya tumbuh-tumbuhan hijau dan banyak sekali kebun. Namun sekarang, memang masih ada beberapa pohon yang masih tegap berdiri, namun yang lain sudah tergantikan oleh bangunan-bangunan, kolam, maupun hanya lahan kosong. Ya itulah salah satu hal yang saya rindukan dari Dukuh saya. Dukuh rimbun, yang nyaman jika digunakan untuk bermain maupun berolahraga. Semakin sedikit pepohonan makin sedikit juga tempat berteduh yang menyediakan oksigen sehingga semakin panas pula bumi ini. ya meskipun sebagian besar pasokan oksigen berasal dari laut tetapi tetap saja jika kita terus menebangi pohon dan memenuhi dengan hal-hal yang menguntungkan beberapa pihak dunia akan semakin panas. tiada lagi tempat berteduh untuk kita dan tiada pula tempat tinggal untuk hewan-hewan liar, sampai terkadang kita sering melihat video-video yang tersebar di internet yang mengabarkan hewan-hewan yang sampai turun ke jalan dan memenuhi jalan sehingga kendaraanpun tidak bisa lewat. hal ini disebabkan karena mereka sudah kehilangan tempat tinggalnya. Bukan cukup penebangan, tanahpun juga direkonstruksi dengan aspal dan semen. Dengan adanya kejadian tersebut ketika terjadi musim hujan sering terjadi banjir yang sampai berhari-hari. Hal ini disebabkan karena tiada resapan air lagi. Kita sebagai manusia sebagai khalifah harusnya memelihara, bukannya malah mengeksploitasi yang ada dialam. Seperti halnya dalam Triniity filsafat yaitu segitiga filsafat (Tuhan, Manusia, dan Alam). Kita harus menjaga hubungan kepada Tuhan, hubungan kepada sesama manusia dan hubungan kita kepada Alam semesta. Sehingga kita bisa mampu seperti halnya orang Jawa yang menginginkan “Keharmonisan” yang disimbolkan dengan kata-kata “melu banyu mili”. Kalimat tersebut sekilas menunjukkan seseorang yang pasrah, namun pada dasarnya hal itu memiliki makna seperti ini: ” kita hidup harus seperti air yang dipindahkan dimanapun ia akan mengikuti wadahnya, dipukulpun ia tidak pecah, dipisahkan dari alirannya-pun ia akan tetap seperti air”, jadi kita harus beradaptasi dan tidak merusak hal yang bukan milik kita. Kita sudahi renungan tersebut, sekarang saya akan menceritakan Sejarah mengenai kampung saya.
Tempat saya tinggal bernama Dukuh Kalangan, Desa Ketitang, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten. Menurut Bapak Parjana selaku Lurah Desa Ketitang ia bercerita tentang awal mula kenapa dukuh ini bernama Kalangan. Ia menuturkan bahwa dahulu sewaktu jaman penjajahan Belanda/Jepang sering melewati daerah ini(Dukuh Kalangan) secara terus menerus dan bolak balik secara melintang jika dalam bahasa Jawa disebut “Ngalang” sehingga lama-kelamaan dukuh ini disebut sebagai dukuh Kalangan yang berasal dari kata “Ngalang”. Kemudian setelah merdeka-pun masyarakat disini belum bisa nyaman karena masih banyaknya krisis yang menimbulkan masalah. Krisis ini berupa krisis kebutuhan sehari-hari karena susahnya mendapatkan bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari. Hal ini terjadi ketika jaman Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30SPKI). Karena masih dalam keadaan krisis yang disebabkan oleh pihak-pihak yang bergabung dalam Organisasi Komunis, kemudian ada seorang tetua yang berpikir bagaimana caranya bisa terlepas dari krisis ini. Kemudian tetua tersebut menemui orang berilmu yang bisa disebut sebagai Ulama pada masa itu dan berkonsultasi mengenai masalah yang ada pada daerah ini dikala itu. Kemudian Ulama tersebut menyuruh untuk memelihara sumur yang kemudian diberi nama sebagai “Mbah djimat” yang merupakan berasal dari kata “aji” yang berarti berharga dan kata “manfaat”. Jadi, “Mbah djimat” sendiri bukan nama seseorang, melainkan nama sumur yang merupakan penyimbolan makna air. Air itu adalah sesuatu yang sangat berharga bagi seluruh makhluk hidup, karena makhluk hidup sendiri berasal dari air. Nah, air yang ada di sumur tersebut adalah air yang jernih dan bersih sehingga dapat bermanfaat bagi makhluk hidup sekitarnya. Nah, setelah krisis mulai mereda kemudian Masyarakat mulai mendekatkan diri dengan Sang Pencipta dengan berkelompok sesuai agamanya masing-masing dan beribadah sesuai tuntunan agamannya. Meski berbeda keyakinan, di kala itu masyarakat tetap nyaman dan tentram. Setiap malam satu suro(1 Muharram) terdapat agenda rutin yaitu bersih desa khususnya di sumur “Mbah djimat” dan malamnya diselenggarakan malam tirakatan untuk mendoakan para leluhur. Mungkin pandangan ini bisa dianggap sebagai Animisme, namun jika diambil positifnya yaitu silaturahmi, ungkapan rasa syukur, dan menjaga alam yang dibuktikan dengan acara bersih desa tersebut.
Dari sejarah dukuh saya ini yang dapat kita pelajari yaitu agama muncul dari suatu krisis yang dialami manusia. ketika manusia dalam bahaya, diambang kematian, ia akan teringat kepada Tuhannya. Kemudian, sebagaimana manusia kita tidaklah hidup sendiri, kita hidup karena Tuhan, karena pertolongan sesama manusia dan karena adanya alam semesta yang menyediakan kebutuhan manusia dari yang primer hingga tersier. Jadi, bagusnya jika kita menjaga hubungan antara ketiganya, hubungan kepada Tuhan, hubungan kepada manusia, dan hubungan dengan alam semesta yang dapat diungkapkan dengan menjaga dan melestarikannya, bukannya mengekploitasi dan mengeruk hanya untuk keuntungan sementara. INGATLAH ! KITA TIDAK HIDUP SENDIRIAN !

(Gambar Dashboard adalah foto dari “makam mbah djimat”)

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Muhammad Ridwan Arrofiq

    Salam #Mongopoh
    NIM : 161211087

    View all posts

    Add comment