Soloensis

Ngaji Bersama Gus Mus

Toyota Innova berpelat nomor K 141 KU itu akhirnya masuk ke halaman Griya Solopos, Senin siang, 30 November 2015. Saya menunggu kedatangan mobil itu sekitar 25 menit.
Pada Minggu malam, 29 November 2015, saya menerima SMS dari K.H. M. Dian Nafi’, pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Muayyad di Windan, Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo.
Kiai Dian mengabarkan pada Minggu malam itu K.H. Ahmad Mustofa Bisri alias Gus Mus datang ke Masjid Agung Solo untuk menjadi pembicara dalam pengajian khatmil Quran. Kiai Dian mengatakan pada Senin pagi atau siang akan berusaha mengajak Gus Mus mampir di Griya Solopos.
Saya balas SMS Kiai Dian itu,”Semoga beliau bisa mampir ke Griya Solopos”. Saya memang sering berkomunikasi dengan Kiai Dian karena beliau penulis kolom Mimbar Jumat di Solopos. Sayalah yang bertanggung jawab mengingatkan jadwal Kiai Dian dan menagih tulisannya saat deadline sudah dekat.
Senin siang saat saya mengikutu rapat evaluasi bulanan redaksi Solopos yang dipimpin Pemimpin Redaksi Suwarmin, sekitar pukul 11.15 WIB, Kiai Dian kembali mengirimkan SMS, memberitahukan sedang dalam perjalanan ke Solopor.
Segera saya sampaikan pesan itu kepada Pemimpin Redaksi Solopos. Kamis berdua kemudian keluar ruangan rapat untuk menyambut kedatangan Gus Mus. Bagi saya pribadi, kedatangan Gus Mus ini sangat istimewa. Sekitar 2005-2006 lalu saya memang beberapa kali ketemu Gus Mus di Kota Semarang karena saat itu saya bertugas sebagai reporter di sana.
Jauh sebelum itu, saya juga pernah hadir di acara pembacaan puisis Gus Mus di Taman Budaya Surakarta, saya lupa tahun berapa itu, yang jelas, seingat saya, saya masih belajar di Universitas Sebelas Maret.
Perjumpaan saya dengan Gus Mus yang mampir ke Griya Solopos pada Senin siang itu memunculkan sensasi tersendiri di benak saya. Nyaris sesensasional saat saya ketemu Gol A Gong di Griya Solopoa tahun lalu. Bedanya, Gol A Gong “berkontribusi” dalam hidup saya melalui novel “Balada Si Roy” yang saya baca ketika saya masih SMA dan kini masih sering saya baca ulang, sedangkan Gus Mus “berkontribusi” dalam hidup saya karena saya memang fans berat kiai karismatis di Nahdlatul Ulama ini.
Dalam pemaknaan saya, Gus Mus adalah ulama teladan, ulama yang sangat membumi, selalu bisa membicarakanm agama sesuai dengan audiens yang mendengarkan, beragama dengan hati, dan selalu memancarkan keteduhan dan ketenangan kepada orang-orang yang berada di sekitarnya.
Kesan itu pula yang saya tangkap ketika saya ikut menemui Gus Mus di ruangan Pemimpin Redaksi Solopos. Saat itu pembicaraan yang “cukup berat” hanya soal rencana pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng.
“Beberapa hari lalu saya menemui ibu-ibu warga Pegunungan Kendeng yang berada di tenda pos penolakan pembangunan pabrik semen. Saya menemui mereka karena saya terharu mereka peduli pada lingkungan, pelestarian lingkungan, pada saat mayoritas orang tak peduli dengan lingkungan,” kata Gus Mus.
Pembicaraan ihwal agama, keagamaan, dan kemasyarakatan berlangsung dengan ringan diselingi ger-geran. Pembicarana serius, tapi ringan, tetap memunculkan tawa, khas kiai-kiai NU yang memang gemar bercanda.
Gus Mus mengaku prihatin karena kini banyak orang mengaku beragama Islam, baru belajar agama sedikit, baru tahu permukaan, tapi sudah berani menilai orang lain, menghakimi orang lain, bahkan mengafirkan orang lain.
“Saya menyebut mereka itu orang yang baru belajar agama, tapi menganggap diri orang yang paling paham agama,” kata Gus Mus.
Realitas demikian ini muncul, dan kian banyak, seiring kian meluasnya penetrasi tafsir keagamaan yang “menginduk” pada gerakan Islam trans-nasional. Mereka yang berafiliasi dengan gerakan ini rata-rata punya semangat tinggi “meninggikan Islam” tapi tak dilengkapi bekal pengetahuan ber-Islam yang baik.
“Saya pernah didatangi orang-orang yang mengusung gerakan mengembalikan khilafah Islamiah. Bagi saya ini gerakan yang aneh. Khilafah Islamiah itu kan sudah selesai, jadi sejarah, tak relevan dibangkitkan lagi, apalagi di Indonesia,” kata Gus Mus.
Menurut Gus Mus, para pengusung khilafah Islamiah yang datang ke rumahnya di Rembang, Jawa Tengah itu, bersemangat membicarakan gerakan menghidupkan lagi khilafah Islamiah dengan tujuan menyatukan umat Islam yang menurut mereka–dan faktual memang begitu–saat ini seperti terpecah belah.
“Ya, saya tak sepakat dengan pandangan mereka bahwa khilafah Islamiah bisa menyatukan umat Islam. Menurut saya gampang kok menyatukan umat Islam itu. Caranya gampang, yaitu bubarkan saja semua organisasi keislaman itu, bubarkan semuanya, nah setelah itu umat akan bersatu. Pertanyaannya, siapa yang mau membubarkan dan apakah mereka mau bubar?” kata Gus Mus.
Saya menangkap optimisme dari penuturan Gus Mus bahwa umat Islam di Indonesia punya potensi menjadi pembangunan peradaban dunia. Islam di Indonesia yang berbasis di wilayah yang penuh keragaman punya nilai-nilai moderat yang sangat cocok dengan kemanusiaan universal. Dan sesungguhnya Islam memang seperti itu: sangat selaras dengan kemanusiaan universal.
Tak lama Gus Mus di Griya Solopos, hanya sekitar 30 menit, tapi saya merasakan kebahagiaan yang sangat bisa bersalaman dan diskusi bersamanya. Saat perjalanan menuruni tangga menuju pintu keluar Griya Solopos Gus Mus berkata,”Saya ini korban pencitraan.”
Gus Mus mengatakan selama ini selalu disebut sebagai kiai sepuh yang awet muda. Tiap datang ke suatu daerah, termasuk ketika datang ke Solo, selalu diajak ke sana dan kemari bertemu banyak orang. “Saya ini sudah 71 tahun,” ujar Gus Mus.
Ia mengatakan demi bisa bersilaturahmi dengan banyak orang ia kemudian aktif di media sosial, terutama Facebook dan Twitter. “Banyak orang beranggapan saat saya menulis di Facebook atau Twitter itu dilakukan orang lain. Saya ini merasa tak enak kalau menulis sesuatu menggunakan tangan dan pikiran orang lain. Apa yang saya tulis di Facebook atau Twitter itu saya tulis sendiri,” kata Gus Mus.
Mobil Toyota Innova berpelat nomor K 141 KU itu kemudian meninggalkan Griya Solopos. Gus Mus datang ke Griya Solopos hanya bersama sopir yang mengemudikan mobil khasnya itu. Kiai Dian Nafi’ menyertai dengan menumpang mobilnya sendiri bersama sopirnya. Dua sopir itu menunggu di mobil saat Gus Mus dan Kiai Dian berdiskusi bersama beberapa awak Solopos di ruangan Pemimpin Redaksi Solopos.
Satu pelajaran penting yang saya tangkap dari diskusi itu adalah untuk menjadi orang beragama yang sampai ke substansi ya harus belajar agama secara baik. Beragama harus sampai ke substansi, jangan cuma di simbol-simbolnya. Terima kasih Gus Mus atas kunjungan ke Griya Solopos….

Apakah tulisan ini membantu ?

ichwan prasetyo

Jurnalis, suka membaca, suka mengoleksi buku, sedih bila buku dipinjam (apalagi kalau tak dikembalikan), tak suka kemunafikan.

View all posts

2 comments