Soloensis

Nasionalisme Tapai Ketan

Saya sering bertemu perempuan renta ini saat dia datang ke pabrik tempat saya menjadi buruh. Dia datang membawa barang dagangan berupa singkong rebus, ketela rebus, kacang rebus, dan tapai ketan.
Biasanya perempuan renta ini datang ke pabrik tempat saya menjadi buruh sekitar pukul 16.30 WIB. Setiap kali dia datang, saya selalu ingin membeli tapai ketan yang dia jual. Sampai sekarang saya tak tahu namanya dan saya memang tak pernah bertanya kepada dia siapa namanya.
Yang jelas setiap dia datang ke pabrik tempat saya menjadi buruh, tidak tiap hari dia datang, saya selalu membeli tapai ketan yang dia jual. Dia mengemas tapai ketan dalam bungkusan daun pisang. sebungkus berisi dua sendok makan tapai ketan.
Lima bungkus tapai ketan dia bungkus dalam satu kantong plastik transparan. Sekantong plastik itu dia jual Rp2.500. Jadi, sebungkus tapai ketan dia jual Rp500. Sekali membeli biasanya saya minta empat kantong plastik, saya bayar Rp10.000.
Bagi saya, tapai ketan yang dibungkus daun pisang itu adalah simbol “nasionalisme”, setidaknya nasionalisme saya pribadi, dalam pemahaman dan pemaknaan saya pribadi, dan ya tentu saja untuk saya pribadi.

***

Nasionalisme berasal dari kata “nation” (bahasa Inggris) dan “natie” (bahasa Belanda), yang berarti bangsa. Bangsa adalah sekelompok masyarakat–berarti terdiri dari sejumlah “kelompok manusia yang membentuk masyarakat–yang mendiami wilayah tertentu dan memiliki hasrat serta kemuan dna kemampuan untuk bersatu karena adanya persamaan nasib, cita-cita, dan tujuan.
Nasionalisme adalah paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.
Slamet Mulyana (1986) menyatakan nasionalisme adalah manifestasi kesadaran berbangsa dan bernegara atau semangat bernegara. Hans Kohn (1986) menyatakan nasionalisme adalah paham yang berpendapat kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan.
Nasionalisme muncul dari kehendak untuk merdeka, lepas dari penjajahan bangsa lain, serta persamaan nasib. “Teori” atau paham demikian dikemukakan oleh Ernest Renan, Otto Bauwer, dan Petter Tomasoa.
Tenti di era modern konsep itu tidak lagi sepenuhnya sahih, tak lagi sepenuhnya bisa idterima. Nasionalisme awalnya hanya terpaku pada kehendak untuk merdeka atau ingin memiliki negara. Ketika kemerdekaan sudah tecapai secara akan lenyaplah nasionalisme tersebut.
Benedict Robert O’Goman Anderson, akrab dikenal dengan nama Ben Anderson, berpandangan nasionalisme adalah ide komunitas yang dibayangkan (“imagined communities”). Nasionalisme adalah komunitas politik berbayang yang dibayangkan sebagai kesatuan yang terbatas dan kekuasaan yang tertinggi.
Maksud “berbayang” adalah anggota suatu negara atau bangsa hanya mengetahui dan mampu membayangkan komunitasnya (negaranya) dan tidak semua dari mereka saling mengenal.
“Dibayangkan” karena setiap anggota suatu bangsa, bahkan bangsa yang terkecil sekalipun, tidak mengenal seluruh anggota bangsa tersebut. “Dibayangkan sebagai kekuasaan tertinggi” karena ide ini matang di panggung sejarah manusia ketika kebebasan adalah suatu hal yang langka dan secara idealis berharga.

***

Tapai ketan yang dibungkus daun pisang–seperti yang selalu dijual perempuan renta yang sering mampir ke pabrik tempat saya menjadi buruh itu– selalu mengingatkan saya pada tanah air, tanah tumpah darah, tempat saya lahir, tumbuh menjadi remaja hingga dewasa, dan menemukan kesejatian diri.
Tanah tumpah darah saya itu berada di kawasan kaki Gunung Merapi di wilayah Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Pertama-tama, ketika melihat tapai ketan berbungkus daun pisang, ingatan saya langsung ke masa kecil hingga remaja. Saat itu ibu saya tiap Lebaran selalu menyajikan tapai ketan dibungkus daun pisang. Tapai itu dibuat pada pekan terakhir Ramadan.
Saat 1 Syawal tapai ketan itu sudah matang dan siap dinikmati. Tapai ketan itu sampai kini selalu disajikan ibu saya tiap menyambut dan merayakan Idul Fitri. Itulah yang membuat saya langsung teringat tanah tumpah darah saya tiap kali melihat tapai ketan berbungkus daun pisang.
Ingatan saya kepada tanah tumpah darang saya adalah ingatan terhadap kesejatian saya. Saya lahir di bumi kaki Merapi yang merupakan bagian dari bumi Indonesia.
Wilayah kaki Gunung Merapi adalah bagian dari komunitas terbayang Indonesia. Komunitas terbayang Indonesia adalah komunitas dengan beragam manusia, komunitas dengan beragam suku, komunitas dengan agama, komunitas dengan keragaman-keragaman lainnya yang dulu bersepakat menjadi satu identitas bersama: Indonesia.
Di kaki Gunung Merapi itu, komunitas tempat saya lahir dan tumbuh dan menjadi bagian dari komunitas terbayang Indonesia, adalah komunitas yang konkret. Saya menganal hampir semua orang sedusun di kaki Merapi itu.
Kini, ketika saya pulang ke kaki Merapi, kekerabatan sebagai komunitas warga tetap kental. Perubahan memang ada. Perubahan memang membuat komunitas warga tanah tumpah darah saya itu tak seperti dulu lagi. Perubahan itu adalah lebih modern, lebih kosmopolit, lebih terbuka, dan lebih berwarna, apalagi dusun tanah tumpah darah saya itu kini menjadi desa wisata yang terkenal.

***

Nasionalisme saya, rasa keindonesiaan saya, rasa saya menjadi bagian dari komunitas terbayang Indonesia, berangkat dari komunitas konkret tanah tumpah darah saya di kaki Gunung Merapi itu.
Tapai ketan dalam bungkusan daun pisang adalah bagian konkret dari tanah tumpah darah saya di kaki Gunung Merapi. Di mana pun saya menjumpai tapai ketan berbungkus daun pisang, ingatan dan perasaan saya selalu tertambat dengan alam, komunitas, dan kebudayaan kaki Gunung Merapi yang merupakan bagian dari komunitas dalam bayangan saya yang sangat sangat cintai: Indonesia.

Apakah tulisan ini membantu ?

ichwan prasetyo

Jurnalis, suka membaca, suka mengoleksi buku, sedih bila buku dipinjam (apalagi kalau tak dikembalikan), tak suka kemunafikan.

View all posts

3 comments