Soloensis

Melawan Media Sosial

K.H. M. Dian Nafi’ adalah sosok kiai, ulama, punya jaringan luas, berbudaya literer tinggi, tapi tak punya akun media sosial. Term “tapi” ini sekadar menguatkan agar selaras dengan realitas jamak orang sekarang yang “cupu atau kuper” kalau tak punya akun media sosial.
Saat berbicara di hadapan kaum muda wakil berbagai komunitas di Indonesia dalam acara pertemuan lintas iman dan golongan yang diprakarsai Solo Interfaith Peace Institute (SIPI), Selasa, 27 Oktober 2015, di kompleks Balai Kota Solo, Kiai Dian menceritakan “larah-larahe” sehingga sampai kini memilih tak bermedia sosial.
Lebih dari satu dekade lalu, Kiai Dian mengikuti kursus singkat ihwal isu-isu interfaith, resolusi konflik, dan manajemen pluralitas di Jerman. Salah seorang mentornya adalah profesor di sebuah universitas di Jerman. Ketika itu Kiai Dian memiliki dan menggunakan telepon seluler merek Siemens seri terbaru.
Dalam interaksi dengan mentornya itu Kiai Dian merasa malu karena ternyata profesor di universitas ternama di Jerman itu menggunakan telepon seluler merek sama tapi tipenya adalah generasi lebih tua daripada yang dia gunakan. Bagi profesor itu, telepon seluler sekadar alat bantu komunikasi, bukan bagian penting dari laku kehidupan intelektual dan kehidupan sehari-harinya.
Saat itu bulan puasa. Kiai Dian menggunakan telepon seluler canggihnya (untuk ukuran kala itu) untuk membantunya bangun ketika tiba saat makan sahur. Telepon seluler itu dia atur sedemikian rupa dan dia taruh di bawah bantal alas kepalanya saat tidur.
Telepon seluler itu dia atur sedemikian rupa sehingga bergetar sesuai pengaturan waktu yang dia tetapkan, yaitu ketika tiba saat makan sahur. Sialnya, ketika telepon seluler itu bergetar beberapa kali, Kiai Dian tetap tak bangun dari tidurnya.
“Yang membangunkan saya justru profesor itu. Dia terbangun dari tidurnya karena mengetahui ada suara aneh di kamar tempat saya tidur, ya suara telepon seluler saya yang bergetar itu. Betapa malunya saya. Telepon seluler canggih (zaman itu) tak bisa memudahkan saya menjalani hidup (bangun untuk makan sahur). Malah profesor itu yang membangunkan saya karena dia tahu sudah tiba saat saya makan sahur,” ujar Kiai Dian.
Pengalaman itu menyadarkan Kiai Dian–kini menjabat sebagai Wakil Syuriah PWNU Jawa Tengah–bahwa dirinya sekadar jadi konsumen gadget, sekadar merasa gagah punya gadget canggih (kala itu). Rasa malu Kiai Dian kian menjadi-jadi ketika profesor itu mengatakan telepon seluler miliknya itu di Jerman biasa digunakan deputi Kanselir Jerman (selevel Perdana Menteri).
“Pengalaman itulah yang sangat menghunjam dalam benak saya. Saya kemudian punya kesadaran bahwa saya tak ingin hanya menjadi konsumen teknologi. Itulah yang membuat saya sampai sekarang tak punya akun media sosial,” ujar Kiai Dian.
Untuk urusan komunikasi, Kiai Dian merasa nyaman dengan pesan singkat (SMS) atau telepon. Untuk urusan yang penting, darurat, sangat perlu, atau harus segera diselesaikan, Kiai Dian memilih bertemu langsung dengan orang-orang yang terkait.
Perangkat surat elektronik atau e-mail yang beberapa tahun terakhir digunakan Kiai Dian, menurut penuturannya, adalah atas saran santri-santrinya di Ponpes Mahasiswa Al Muayyad di Windan, Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo dan saran kawan-kawannya di jaringan pergerakan interfaith di tingkat lokal, regional, nasional, maupun internasional.
“Saya bermaksud, bagi diri saya sendiri, melawan agar tak sekadar jadi konsumen teknologi,” kata Kiai Dian.

***

Konsulan media We Are Social pernah merilis data bahwa hingga awal 2015 jumlah pengguna media sosial di Indonesia mencapai 75 juta orang. Tentu hingga akhir Oktober 2015 ini jumlah itu telah bertambah signifikan.
Asisten Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan, Tatang Badru Tamam, dalam acara yang sama di kompleks Balai Kota Solo itu mengatakan kecenderungan bermedis sosial di Indonesia 10 tahun terakhir memang kian dini.
“Anak-anak usia TK dan SD kian banyak yang mulai bermedia sosial. Mereka menggunakan Facebook atau Instagram. Saya pernah berbicara dengan seorang siswa SD yang mengaku ‘terlambat dua tahun’ bermedia sosial,” kata Tatang.
Beberapa tahun terakhir, menurut Tatang, ekses negatif media sosial kian sering bermunculan. Yang paling mudah dideteksi dan diketahui adalah kian banyak pengguna media sosial yang seakan-akan tak punya kontrol diri ketika bermedia sosial.
Tatang mengaku pernah cukup lama meninggalkan media sosial karena tak tahan dengan perkembangan unggahan-unggahan bernada negatif, menyerang orang lain, memfitnah orang lain, menjelek-jelekkan orang lain.
“Saya kembali menggunakan media sosial ketika pekerjaan saya sebagai konsultan komunikasi meniscayakan saya menggunakan media sosial. Dalam pemilu 2014 lalu saya juga intensif menggunakan media sosial karena mau tak mau ya saya harus menggunakannya untuk tujuan politik [mendukung dan memenangkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla],” kata Tatang.
Intensitas bermedia sosial yang kini bisa enam jam dalam sehari semalam itu membuat Tatang kian prihatin karena unggahan-unggahan negatif kian banyak dan banyak sekali yang menjadi informasi viral, menyebar sangat cepat dan tanpa batas.
Guru besar ilmu komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret, Prof. Pawito, Ph.D, mengatakan kecenderungan penggunaan masif media sosial di Indonesia tak lepas dari realitas kecenderungan remaja dan generasi muda untuk selalu tertarik dan menyukai hal-hal baru.
“Banyak penelitian dan survei menunjukkan mayoritas pengguna media sosial di Indonesia adalah kaum muda,” kata Prof. Pawito.
Realitas demikian ini ditambah budaya konsumsi yang mendominasi kaum muda Indonesia membuat kredo bermedia sosial sering tanpa panduan nilai-nilai etis. Unggahan di banyak media sosial sering kali bertentangan dengan konsep dan nilai-nilai moral dan sosial yang menjadi fondasi sekaligus pegangan hidup sehari-hari.
Di dunia jurnalisme ada panduan ketat tentang keharusan menaati nilai-nilai sosial dan moral yang terangkum dalam kode etik jurnalistik. Dengan panduan ini, jurnalis dan jurnalisme, tak mungkin menayangkan gambar mayat pendaku Gunung Lawu yang terbakar, tak mungkin menayangkan foto mayat bocah korban pembunuhan yang dibungkus kardus.
Di media sosial, foto dan gambat yang tidak etis itu sangat mudah ditemui. Media sosial yang berkelindan dengan budaya konsumsi “mengajak” penggunanya menemukan identitas diri dengan “pamer”. Yang dipamerkan mulai dari yang positif sampai yang negatif.
Ketika budaya pamer ini menguat menjadi narsisme, menurut Prof. Pawito, kecenderungan mengabaikan nilai-nilai moral, etika, nilai-nilai sosial menjadi kian mudah. Budaya konsumsi di media sosial ini salah satunya bisa dideteksi dari kepuasan ketika mendapat “like” banyak, mendapat komentar banyak, atau unggahannya di-“share” oleh banyak orang.
Tatang lalu mengemukakan pentingnya intervensi negara untuk membatasi unggahan-unggahan negatif: fitnah, insinuasi, menyerang orang lain secara membabi buta, memanipulasi fakta, pornografi, “hate speech”, dan sejenisnya.
Ide Tatang ini bisa berbahaya ketika teknis praksis “pembatasan” itu kemudian menjadi represif, pemerintah mengatur “kebebasan” warga untuk berpendapat dan berekspresi (di media sosial).
“Kecenderungan semua orang kan memang tak mau diatur. Dalam konteks bermedia sosial, tentu tetap harus ada aturan-aturan bikinan negara, tentu jangan yang represif. Pengaturan yang paling ideal adalah ‘cerdas bermedia’, bermedia sosial dengan memegang tegus etika, nilai-nilai sosial, nilai-nilai moral universal. Kalau tak mau difitnah ya hangan memfitnah orang lain, kalau tak mau disakiti ya jangan menyakiti orang lain,” kata Prof Pawito.

***

Pakar dinamika sosial teknologi informasi dan komunikasi yang juga menjadi akademisi di Fakultas Jurnalistik dan Komunikasi Universitas Carleton, Canada, Merlyna Lim, mengatakan ketika rakyat dapat membicarakan politik seperti mereka memperbincangkan urusan sehari-hari, berarti pintu menuju aktivisme politik terbuka lebar.
Merlyna adalah orang Indonesia yang menjadi profesor tamu di Arizona State University. Menurut Merlyna, media sosial berpengaruh dan berperan penting dalam siklus informasi publik.
Ciri paling khas dari media sosial adalah kebebasan tiap individu memilih pintu atau sumber informasi. Informasi berputar dan menyebar sangat cepat dan masif. Faktual, media sosial memang seperti pisau bermata dua. Sebagaimana agama yang bisa menyejahterakan manusia atau menghancurkan manusia, media sosial juga demikian.
Kewajiban seluruh elemen warga negeri ini untuk bersama-sama “melawan” penggunaan media sosial yang bersifat menghancurkan manusia dan kemanusiaan. Para aktivis di Dian Interfidei Jogja bersama jaringannya aktif menyebarkan informasi bermuatan nilai-nilai agama yang bersifat universal yang mendorong manusia selalu menghormati manusia lain atas dasar kemanusiaan universal.
Laku bermedia sosial secara positif inilah yang harus dibudayakan demi “melawan” (penggunaan) media sosial yang berefek menghancurkan manusia dan kemanusiaan…

Apakah tulisan ini membantu ?

ichwan prasetyo

Jurnalis, suka membaca, suka mengoleksi buku, sedih bila buku dipinjam (apalagi kalau tak dikembalikan), tak suka kemunafikan.

View all posts

Add comment