Soloensis

Perjuangan Panjang dan Melelahkan Pasien BPJS Kesehatan Mendapatkan Haknya

Based on true story.

Saya hanya pingin sharing pengalaman sebagai pasien BPJS yang harus operasi, karena ternyata banyak yang belum memahami BPJS kesehatan, terutama untuk prosedur operasi terjadwal seperti yang saya alami.

Semua ini berawal dari…sakit gigi enam bulan yang lalu (yang awalnya saya pikir sakit biasa aja karena berlubang sehingga hanya perlu ditambal). Bermodal kartu kepesertaan BPJS kesehatan, saya pun mendatangi faskes 1 drg Ririen di Baturan. Antriannya? Jangan tanya! Saya beruntung, meski telat ngantri dan masuk ke daftar pasien cadangan, bu dokter yang baik hati masih bersedia menerima saya pada pukul 21.00 WIB. Dicek cek cek, bu dokter menemukan beberapa gigi bermasalah. “Wah gigi ibu rusak parah gini ya! Pasti udah lama enggak kontrol ke dokter gigi. Yang paling mudah dulu yang saya tangani ya!” begitu kata Bu Ririen. Dibersihin, dibor dan ditambal sementara, lalu dikasih obat. Pulang. Besoknya harus datang lagi. Begitu terus sampe satu gigi tertangani. Sudah selesai? Belum. Masih ada 4 gigi menunggu. “Ini yang paling parah adalah gigi geraham bungsu ibu, kanan bawah. Itu giginya sudah berlubang, kudu diambil. Tapi pengambilannya harus lewat bedah mulut karena gigi ibu itu tertutup gusi. Dan saya tidak bisa menangani gigi itu, jadi ibu saya rujuk ke RS tipe C sesuai prosedur BPJS KEsehatan!” demikian penjelasan Dokter Ririen.

Operasi? Oh no! Yang kebayang di kepala adalah pengalaman dulu saat operasi caezar, saat melahirkan anak saya. Pas operasi sih enggak ngerasain apa-apa, tapi efek setelah operasinya itu. Waktu itu saya sempat tremor hebat, badan berasa dingiiiin sekali, tapi dinginnya tu di dalam sanaaa… jadi diselimuti pake 10 tumpuk selimut pun tetap berasa dingin menggigil. Jujur, saya sedikit trauma ama yg namanya operasi setelah kejadian itu!

Saya coba cari alternatif lain, nyari second opinion…. kali-kali aja tak perlu operasi. Saya juga searching di Internet tentang prosedur operasi gigi geraham bungsu pakai BPJS kesehatan. Dari semua dokter yang saya datangi semua mengatakan: Iya, harus operasi! Wadhew. teman-teman dan saudara saya juga mengatakan hal sama, pokoknya untuk menyelesaikan masalah si gigi geraham bungsu itu (tidak bisa tidak) harus lewat jalan operasi! Selama proses pencarian second opinion itu kadang gigi kambuh sakit nyut-nyutan, nanti habis dibawa ke dokter sembuh lagi, tapi kambuh lagi. Sampai pada satu titik saya menyerah, okelah kalo memang seperti itu jalannya. Saya pun kembali ke dokter Ririen, minta surat rujukan. Diketawain, jelas. Kata Bu Ririen,”Bu, selama gigi ibu itu tidak dioperasi ya seperti itu kambuh, sembuh, kambuh, sembuh seperti itu terus. Agar sembuh total ya harus dioperasi!” Okelah, kali ini saya menyerah.

Berbekal surat rujukan dari Bu Ririen, saya pun berangkat ke salah satu RS tipe C pada 1 November. Datang pagiiii banget (risiko jadi pasien BPJS kudu rela datang jam 5 pagi atau 6 pagi supaya dapat nomor awal). Ditolak? Enggak, awalnya diterima dengan baik. Diperiksa oleh dokter di RS tersebut. Tapi…ujung-ujungnya dokter di RS tersebut bilang,”Maaf RS ini tidak bisa melakukan operasi bedah mulut, jadi ibu saya rujuk ke RS tipe B ya!” Hah? Saya terbelalak. Kaget, jelas. Karena setahu saya RS tersebut punya ahli bedah mulut yang sangat terkenal, dia punya klinik sendiri di Solo Baru sana. Saya bilang,”Lho kenapa harus dirujuk, Bu? Setahu saya rumah sakit ini punya dokter spesialis bedah mulut. Setahu saya rujukan itu hanya berlaku bila RS tidak punya sarana prasarana memadai utk menangani kasus pasien atau bila RS tak memiliki dokter di bidang yang dimaksud. Tapi kan RS ini punya tenaga medisnya, alatnya juga punya, kenapa harus dirujuk?”

Bu dokter di RS tersebut menjawab,”Ya masalahnya dokternya tidak mau menerima pasien BPJS, Bu!” Sampai di sini saya mati kutu atau tak bisa berargumentasi. Maklum belum paham tentang BPJS. Lalu, saya malah ditawari begini,”Kalo ibu mau jadi pasien umum, hari ini juga ibu langsung kami tangani. Biayanya Rp1,5 juta.” Heh? Saya terhenyak. Akhirnya ya sudahlah, saya menyerah dirujuk ke RS tipe B. Saya terlempar lagi, seperti bola pingpong.

Apakah perjuangan sudah berakhir? Beluuum. Pada 11 November, saya ke RS tipe B. Antri dari pk 06.00 WIB (padahal loket pendaftaran baru buka pukul 08.00 WIB). Saya datang sepagi itu aja sudah dapat antrian nomor 11. Itu hanya untuk antri pendaftaran loh, belum antri dokternya. Karena dokternya buka praktik pukul 15.00 WIB. Setelah mendaftar, saya pulang. Sorenya balik lagi untuk antri dokter. Melelahkan bukan? Saya ditangani drg Budi Santoso. Kali ini, tak ada penolakan. Saya dikasih surat perintah rawat inap. Sampai di sini saya ngeyel lagi,”Lha kok harus rawat inap, Dok? Kan cuma dibius lokal di gusi!” Pak dokter menjelaskan bahwa saya akan dioperasi pakai bius total. Walah. Surat itu harus saya bawa ke IGD untuk dapat kamar. Ya, saya harus cari kamar dulu agar bisa ditangani. Mudah? Tidak! Sampe di IGD, saya dikasih tau: Ini ibu saya masukkin ke waiting list dulu ya…. Ibu dapat antrian nomor 40. Gubrak. Saya coba berhitung. Pak dokter itu hanya praktik pada Jumat, Sabtu, Minggu. Dan enggak mungkin beliau setiap praktik bisa mengoperasi minimal 2 pasien. Saya tanya ke perawat IGD, kira-kira berapa lama itu masa penantian saya? Si mbak perawat juga tak bisa memberi kepastian. “Kalau sesuai plafon BPJS ibu yaitu kelas 1, jumlah antriannya ada 40 orang dan masa tunggunya bisa berbulan-bulan. Tapi kalau ibu bersedia naik kelas misal ke kelas utama, antriannya hanya 8 pasien,” jelas si mbak perawat. Wah..wah..

Sejujurnya saya ngeri sendiri. Wong sakit dan butuh penanganan segera kok disuruh menunggu berbulan-bulan. Padahal penyakit saya tidak bisa menunggu. Kehidupan saya tak bisa menunggu. Masak iya selama menunggu giliran operasi itu saya harus terus-terusan menelan antibiotik dan pain killer untuk meredakan rasa cenut-cenut di gigi dan agar bisa beraktivitas secara normal? Ya kalo penyakitnya enggak semakin parah, kalau malah tambah parah bagaimana? Akhirnya pada 17 November saya putuskan menulis surat pembaca dan saya kirim ke redaksi Kompas dengan harapan hal ini bisa menjadi perhatian jajaran direksi BPJS di Jakarta. Kebetulan di waktu hampir bersamaan, Solopos juga menurunkan pemberitaan tentang masa tunggu pasien BPJS yang hendak operasi hingga berbulan-bulan. Jadi, sebetulnya itu bukan masalah saya aja kan? Menurut saya sih enggak manusiawi banget menyuruh orang sakit untuk menunggu hingga berbulan-bulan seperti itu.

Pada 6 Desember, saya mendapat telepon dari Mbak Tetty yang mengaku dari BPJS. Berhubung saya sudah lupa tentang surat pembaca saya di Kompas itu, awalnya saya kira ngapain nih kok BPJS kesehatan nelpon gue? Tapi setelah Mbak Tetty menjelaskan, barulah saya sadar…ooow mungkin surat gue sudah dimuat Kompas. Mbak Tetty mengajak saya makan siang dan dipertemukan dengan pihak RS. Aduh, saya jadi enggak enak. Sampai di rumah saya bongkar tumpukan Kompas dan saya menemukan surat saya sudah dimuat Kompas pada 6 Desember. Wah fast response juga ternyata! pikir saya.

Pada 7 Desember, saya bertemu dengan jajaran BPJS kesehatan Solo dan pihak RS. Saya sampaikan, sebetulnya surat pembaca itu bukan untuk kepentingan pribadi saya aja, melainkan mewakili pasien BPJS lain yang harus menunggu giliran operasi. Di pertemuan tersebut, perwakilan dari BPJS menjelaskan antrian itu terjadi karena ada penumpukan pasien di RS, padahal jumlah tenaga medis dan sarana prasarana RS terbatas. Dari pihak RS juga memberi keterangan kurang lebih serupa. “Karena ada penumpukan pasien akhirnya kami mencoba memilah pasien berdasarkan kasus sehingga ada operasi terjadwal dan operasi dalam kondisi emergency. Operasi terjadwal itu seperti operasi bedah mulut seperti kasusnya Mbak Astrid. Sedangkan untuk operasi kasus darurat misalnya kecelakaan lalu lintas,” demikian penjelasan pejabat humas dari RS.

“Dan antrian itu bukan hanya untuk 1 dokter, melainkan semua dokter. Kalau ada kamar kosong, pasien di waiting list pasti kami kabari. Tapi kamar hanya kami buka selama 2 jam, bila lebih dari 2 jam, kami tidak berani berspekulasi karena bisa jadi dalam jangka waktu tersebut ada pasien dalam kondisi darurat yang butuh penanganan segera,” demikian penjelasan pejabat humas RS.

“Jadi, saya bisa sewaktu-waktu dipanggil untuk operasi?” tanya saya.

“Iya, sewaktu-waktu,” tegasnya.

Wadhew. Saya kian terhenyak.

Dan memang benar. Pada Jumat (9/12) pukul 16.00 WIB saya mendapat telepon dari RS. “Bu, ini ada kamar kosong. Ibu silakan datang untuk operasi bedah mulut ke RS. Kami tunggu dalam jangka waktu 2 jam. Ambil atau tidak, Bu, tawaran ini?” Meski gigi saya sakit luar biasa, tapi berhubung saya sudah telanjur masuk kerja, saya tolak tawaran itu. Saya bilang mosok operasi kok mendadak seperti itu to mbak, mbok yao dikasih tau sehari sebelumnya agar saya bisa prepare segalanya. Tapi si mbak menjelaskan prosedurnya seperti itu bu. Ya sudahlah. Saya tak ambil tawaran itu, dengan risiko entah berapa lama lagi saya harus menunggu telepon keberuntungan seperti itu.

Dan benar, saya harus menunggu lamaaa sekali… saya coba proaktif mengecek ke RS, antrian saya sudah sampai nomor berapa? Eh ternyata masih mentok di nomor 40 (kelas 1). Lhaaa…kok antriannya belum bergerak-gerak? Ini beneran atau enggak? Di tengah-tengah itu, saya harus berjuang tetap hidup, tetap waras, di saat gigi terasa ngilu luar biasa dan kurang tidur di malam hari.

Sampai puncaknya pada Jumat (23/12) gigi saya sepertinya sudah tak sabar, menagih janji untuk dioperasi. Sudah saya coba minum obat pembunuh rasa sakit sampai 2 butir, eh kagak mempan. Akhirnya, saya tempuh cara tak terpuji. Sungguh, saya benci melakukannya (meski sebetulnya saya pingin banget merasakan prosedur normal BPJS kesehatan). Tapi rasa sakit ini benar-benar membuat saya menyerah. Pada Sabtu (24/12) pagi, saya menghubungi pejabat humas di RS tersebut, dengan nada memelas saya bilang: Mbak, gigiku sakit bangeeet. Tolong kalau ada kamar kosong saya dikabari yaaa. Si mbak awalnya membantu saya mendaftar untuk kontrol ke Drg Budi. Tiba-tiba pada pukul 14.30 WIB, si Mbak mengabari saya lagi. Dia bilang,”Eh Mbak ini ada kamar kosong tapi di kelas 2. Mau enggak? Kalau mau, tak daftarin operasi aja. Jadi pendaftaran untuk kontrol saya cancel. Bagaimana?” Rasa sakit membuat saya mengiyakan aja tawaran itu. Yang bener aja masak saya tolak? Entar gue keburu pingsan oleh rasa sakit yang mendera.

“Enggak apa-apa, Mbak, dapat kamar di kelas 2. Kan itu hanya kamarnya aja yg turun kelas. Tapi untuk obat dan pelayanan tetap sesuai plafon BPJS yaitu kelas 1. Lagian kalo untuk operasi bedah mulut, palingan hanya nginep semalam doang kok, Mbak! Kalo mau, saya daftarin. Kamar hanya dibuka selama 2 jam ya,” demikian penjelasan si mbak pejabat humas yang baik hati itu. (iya, saya baca2 di Internet juga gitu… banyak pasien bedah mulut pakai BPJS berkisah mereka tiba-tiba dipanggil operasi dan rawat inap semalem doang. Bedanya mereka ikhlas menjalani prosesnya, sementara saya nulis surat pembaca segala hihi).

Begitulah, pada SAbtu (24/12) pukul 15.00 WIB saya berangkat ke RS. Tanpa bayangan sedikit pun tentang bagaimana nanti di RS. Saya berangkat sendiri. Untung ada sodara bersedia saya titipin si thole. Sampai di RS, saya masih harus mengisi form berlembar-lembar setelah itu masuk IGD untuk rekam jantung, cek ini itu, lalu diinfus. Lalu pukul 18.00 WIB, pak dokter datang menjenguk saya. Ngecek ini itu. Ditanyai kapan terakhir makan dan minum? Ibu harus puasa at least 8 jam sebelum operasi. Saya bersyukur seharian itu enggak doyan makan dan minum (ya iyalah namanya sakit gigi, bawaannya maleees banget maem atau minum). Saya jawab terakhir minum jam 12.00 WIB, dok. Baiklah kalo begitu nanti kita operasi jam 20.00 WIB ya! Lalu pak dokter pun pergi.

Pukul 20.00 WIB saya dibawa masuk ke ruang operasi. Ketemu dokter anestesi. Bu Kusuma namanya, kalo enggak salah inget. Cantik, berwajah teduh. Ditanyai: pernah operasi belum? Saya jawab pernah waktu lairan dulu. “Masih inget nggak bagaimana prosedur pembiusannya waktu itu?” Masih Dok, saya disuntik di tulang belakang, jadi hanya bius lokal. Lalu bu dokter memberikan penjelasan panjang lebar tentang prosedur anestesi untuk operasi kali ini. Lalu bu dokter pergi, berganti mas-mas perawat. Lumayan ganteng sih. Ngejak ngobrol ini ini, lalu saya disuntik di infus saya. Dan hanya butuh waktu sebentar, tahu-tahu saya sudah enggak sadar…. Sumpah! Itu rasanya tidur terlelap yang pernah saya alami. Soalnya pikiran belum keburu melayang kemana2, tau-tau sudah makleeeerrr….terlelap.

Entah berapa lama terlelap, tahu-tahu ada yang menepuk-nepuk dan memanggil-manggil nama saya. Dalam keadaan antara sadar dan terlelap (sumpah, mata rasanya susaaaah banget dibuka) , samar-samar saya melihat tiga wajah mas-mas ganteng di atas saya. Awalnya saya pikir: heh am i in heaven? Dan ini wajah malaikat-malaikat ganteng yang akan menanyai amal perbuatan saya? Hihi…. tapi setelah kesadaran saya pulih, saya baru nyadar: Weleh, saya kan di RS! Surga dari Hong Kong?

Lalu saya pun dibawa ke kamar. Kamar kelas 2, satu kamar berisi 4 pasien. Bayangkan! Tapi saya coba menafikkan fakta tersebut. Untung masih ada sisa-sisa efek obat bius, jadi saya bisa bobok pules banget malam itu. Paginya baru nyadar, ternyata pasien di sebelah saya reseh bin berisiknya minta ampun….hobi mengeluh ini itu, dengan suara keras-keras pulak! Hadhew. Pada Minggu (25/12) sore saya pun meninggalkan RS. Saya pilih menyerah pakai jalan pintas, nggak kuat rasanya bila harus menjalani sesuai prosedur resmi BPJS.

Kalo tidak pakai jalan pintas, entahlah… saya enggak tahu harus menunggu berapa lama lagi. Saya hanya berpikir: bagaimana nasib pasien-pasien BPJS lain di luar sana yang kudu bersabar menahan sakit sembari menunggu giliran operasi? Saya beruntung bisa nulis surat pembaca sehingga keluhan saya segera dapat tanggapan. Mungkin kita perlu menggerakkan pasian-pasien BPJS lain (yang sedang nunggu giliran operasi) untuk menulis surat pembaca secara serentak gitu kali ya agar BPJS tau gitu kali ya?

Mudah-mudahan tulisan ini cukup memberikan gambaran betapa melelahkan dan panjangnya perjuangan seorang pasien BPJS hanya untuk mendapatkan apa yang menjadi haknya.

Apakah tulisan ini membantu ?

Astrid Prihatini Wisnu Dewi

i love travelling sooo much!

View all posts

Add comment