Soloensis

Pelatihan Sehari yang Mengubah Teknik Menulisku

Pelatihan Sehari yang Mengubah Teknik Menulisku
Vitradesie Noekent. Ibu Rumah Tangga, Mahasiswa Paska Sarjana, Dosen FE Unnes.

Pelatihan Menulis Opini yang saya ikuti di Solopos selama dua hari, benar-benar telah mengubah teknik saya dalam menulis. Setelah kesekian kalinya artikel opini saya ditolak media massa, melalui pelatihan tersebut saya mengetahui kesalahan-kesalahan fatal yang telah saya lakukan. Salah satu insight tersebut, ternyata memberi saya pengalaman bahagia bersama Solopos. Setidaknya ada lima pengalaman bahagia dalam pelatihan tersebut yang telah menyurihkan kemampuan saya berliterasi.
Pengalaman bahagia pertama, pengalaman berinteraksi langsung dengan para jurnalis Solopos yang telah memiliki pengalaman panjang di dunia jurnalistik Indonesia. Manager Litbang Solopos, yang akrab dipanggil Pak Udik, membuka hari pertama pelatihan secara mengesankan: akrab dan kekeluargaan tanpa meninggalkan kesan profesional. Mengajak para peserta saling mengenal dengan cara yang mengasyikkan, sehingga dalam dua hari para peserta dapat menerima materi dengan baik karena suasana pelatihan telah dibangun kehangatannya.
Suasana atau dalam bahasa ilmu perilaku organisasional – disebut kultur organisasi, menjadi faktor dominan yang dapat meningkatkan efektivitas sebuah kegiatan, di samping faktor personal peserta. Kultur pelatihan Solopos dibangun dari pengalaman panjang Koran Solopos sejak tahun 1997. Sebagai koran milik warga Solo Raya, Solopos telah mengejawantahkan beragam filosofi Jawa dalam membangun kultur organisasinya: santun dan terbuka, mengindikasikan bahwa Solopos telah mampu menyelenggarakan tata kelola perusahaan yang baik dan benar, sehingga tak ada lagi yang perlu ditutupi. Semuanya dapat diketahui dan dipelajari khalayak. Bahkan, pada akhir acara, para peserta diperbolehkan untuk mengambil gambar semua objek yang ada di lokasi kantor Solopos, mengagumkan.
Pengalaman bahagia kedua, saat Bu Rini yang juga seorang jurnalis senior Solopos, bersedia sedikit membuka dapur redaksi. Beliau mewakili Redaktur, mau menerima kritik dan saran yang saya sampaikan tanpa menunjukkan reaksi pembelaan diri yang berlebih. Kritik tersebut antara lain dalam hal diksi. Tahun-tahun lalu, Solopos dinobatkan sebagai koran berbahasa Indonesia Terbaik, bahkan hinga dua tahun berturut. Entah karena penghargaannya yang sudah ditiadakan, atau Solopos yang tak lagi mendapatkannya, predikat tersebut hendaklah tetap dipertahankan dengan memberi pendidikan Bahasa Indonesia kepada masyarakat menggunakan ejaan Bahasa Indonesia yang baku. Menurut pendapat saya, kata yang kita temukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring belum tentu kata yang baku. Seperti judul yang saya baca dalam berita Solopos tanggal 19 Nobember 2015: “Perusda TSJT Tagih Pemkot Duit Rp 5 Miliar”. Kata duit memang dapat kita temukan dalam KBBI, namun berdasar “rasa bahasa” rasanya saya kurang membenarkan pemilihan kata tersebut.
Ya, berkali-kali para redaktur Solopos mengatakan bahwa “pembaca kami adalah warga Soloraya” – yang menurut saya mengandung beberapa penyataan implisit. Pertama, warga Soloraya tidak terlalu membutuhkan “kecanggihan” kata, yang mereka butuhkan adalah kesederhanaan, sehingga, Solopos cenderung memilih kata yang mudah dicerna. Apakah benar demikian? Kedua, pertimbangan oplah koran. Sependek pemahaman yang saya tangkap, kata yang mudah dimengerti akan berkorelasi positif dengan meningkatnya penjualan. Lagi-lagi, benarkah demikian? Hal-hal ini saya sampaikan sebagai bentuk pengalaman bahagia saya bersama Solopos. Kebahagiaan saya adalah manakala Solopos juga mampu memberikan kebahagiaan bahasa bagi masyarakat.
Pengalaman ketiga, saat berlangsung sesi pemaparan materi Penulisan Opini yang disampaikan oleh mas Ichwan, sang pengelola Rubrik Gagasan Solopos. Pribadinya asyik, mengajak orang selalu berpikir bahwa menulis adalah menyenangkan, tak ada yang membatasi. Hipotesisnya, tak ada kaidah khusus yang membatasi tulisan, sepanjang orang paham, maka artikel dianggap layak untuk muat. “Guampang to? kata beliau”. Dan benar saja, penjelasan beliau telah membuka sekat dalam jari-jari saya yang selama ini menjauh dari papan ketik laptop, membuat saya bisa menyelesaikan tulisan ini dalam waktu yang singkat.
Tetapi apakah hipotesis beliau tadi dapat digeneralisasi bagi semua orang? Tentu saja perlu pengujian empiris oleh para peserta Pelatihan Penulisan Opini lainnya. Mengacu pada sistem pembelajaran International English Language Test System (IELTS) yang saya ikuti, kemampuan menulis sangatlah erat hubungannya dengan kemampuan mendengar, membaca, dan berbicara. Tak akan berkembang satu kemampuan tanpa ditopang kemampuan lainnya. Kemampuan tersebut bersifat komplementer – saling melengkapi, bukan substitusi – saling menggantikan. Memahami dan menguasai – pada level tertentu – setiap kemampuan tersebut akan menjadi syarat cukup, sekaligus syarat perlu bagi kemajuan budaya literasi di Indonesia.
Pengalaman bahagia keempat, pengalaman menerima ilmu dari motivator dan jurnalis senior Solopos, Pak Mulyanto. Beliau memberi pesan implisit, bahwasanya setelah menguasai tehnik menulis opini maka kita dapat mulai menulis kolom. Saya sangat menyetujui pendapat tersebut. Di negara-negara maju, profesi kolumnis memang prestisius, bergaji tinggi dan diperebutkab banyak penulis. Mengapa demikian? Opini yang mereka bangun dalam tulisannya adalah opini yang dilandasi kredibilitas mereka dalam berkarya. Kredibilitas yang dibangun dari pendidikan, pengalaman panjang, pengetahuan dan interaksi para kolumnis dengan berbagai pihak dalam jejaringnya. Pak Mulyanto menunjukkan hal-hal tersebut di setiap kolom yang diterbitkannya. Satu yang menarik atensi saya: kaderisasi koruptor (Solopos, 18 Februari 2013) – sangat memesona bukan? Kedalaman ilmu dan wisdom beliau terefleksikan dalam istilah-istilah yang disebut oleh sahabat beliau, Raden Mas Suloyo.
Pengalaman bahagia kelima – walau sebenarnya masih banyak pengalaman bahaigia lainnya yang kalau saya tulis akan membuat saya terpilih menjadi salah satu reporter Solopos – adalah pengalaman kala membedah tulisan para peserta pelatihan. Satu per satu, para peserta menyampaikan karyanya, dimulai dari cerita tentang penciptaan ide, kesulitan penulisan, hingga tanya jawab, dan komentar dari peserta dan fasilitator acara, mas Ichwan.
Tiga pelajaran penting yang saya dapatkan saat itu. Pertama, tulisan yang baik dihasilkan dari adanya persiapan yang baik. Persiapan tersebut di antaranya: waktu, pemahaman pungtuasi, dan diksi. Kedua, orisinalitas ide yang bisa diraih manakala ide berasal dari keseharian penulis. Apa yang dilakukan sehari-hari akan membuat penulis menguasai masalah, memahami bagaimana mengelolaan masalah, mengerti apa yang sudah, sedang dan mungkin akan terjadi. Karya menjadi bernas oleh data, informasi dan pengetahuan. Kronologi penulisan pun menjadi runtut, sistematis dan menjauhkan karya dari istilah “gagal paham”.
Menutup pengalaman bahagia ini, saya menyimpulkan dan pula mencita-citakan sebuah hal besar. Bahwa budaya literasi Indonesia yang sempat dibangun, dan saat ini sedang dibangun kembali, membutuhkan fondasi literasi yang tak hanya kokoh, tetapi juga sebuah fondasi yang dibangun berdasar belief masyarakat. Mengapa kita harus memulainya dari belief? Berdasar dari theory of reason action (Azjen & Fishbein, 1975), untuk dapat mengubah atau membentuk perilaku tertentu, misal: perilaku literasi masyarakat, maka hendaklah kita memulai dari merubah atau membentuk belief masyarakat tentang pentingnya empat keahlian literasi: mendengar, membaca, menulis dan berbicara. Perubahan belief tersebut, akan berlanjut pada terbentuknya sikap.
Selanjutnya, sikap akan mewujud pada bagaimana gagasan, opini dan pandangan masyarakat tentang literasi. Selanjutnya, sebelum menjadi sebuah perilaku, sikap ini berlanjut pada intensi, atau yang biasa dikenal sebagai niat. Masyarakat dengan budaya literasi yang tinggi memiliki niat yang tinggi pula dalam hal kebaikan, penghargaan terhadap karya orang lain, karya sastra, dan karya teknologi. Setelah mereka berniat, maka perubahan perilaku pun akan menyusul di kemudian waktu. Jadi berdasar teori tersebut, kita tak dapat mengharapkan masyarakat untuk merubah perilakunya jika kita tidak berupaya membangun niat, sikap dan belief masyarakat itu sendiri. Saran termudah dari saya, kita dapat memulai runtutan perubahan tersebut dengan berawal dari pendidikan terhadap putra-putri kita yang saat ini duduk di bangku PAUD. Sebab konsistensi perilaku hanya dapat dibangun dari kerja keras dan kerja cerdas peradaban manusia.

Apakah tulisan ini membantu ?

vitradesie

Wanita, 40 tahun. Ibu rumah tangga yang sedang menempuh studi lanjut juga seorang Dosen PTN.
Sangat menyukai mendidik dan memasak, karena keduanya menggabungkan pengalaman mendengar, membaca, menulis dan berbicara.

View all posts

2 comments