Soloensis

Reportase Sesungguhnya

Kata reportase memang tak tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi termutakhir. Tapi, maknanya sudah lumrah, diketahui banyak orang. Kata ini mengandung makna pekerjaan jurnalis yang kemudian berbuah tulisan, tayangan (audio atau video), yang disiarkan di media massa.
Sayangnya, dalam pemaknaan saya, jurnalis sekarang banyak yang tak memahami kredo reportase ini. Sebagian besar jurnalis sekarang terjebak dalam praksis ”jurnalisme ludah”, mengutip narasumber mentah-mentah, sebanyak mungkin narasumber, dan kemudian menuliskan, menayangkan, sesuai kata narasumber.
Eksplorasi data sangat minim. Laku mempertanyakan dan menguji ucapan narasumber jarang dilakukan. Reportase sekadar jadi slogan. Yang terjadi sebenarnya cuma menghimpun suara-suara narasumber, menghimpun pernyataan-pernyataan. Akibatnya, berita, feature, menjadi kering, tak berjiwa, tak ada rohnya.
Dalam pemahaman saya, mula-mula seorang jurnalis (investigator) adalah tidak menerima mentah-mentah pernyataan sumber-sumber resmi. Seorang jurnalis harus mau melakukan pekerjaan riset yang dalam, tekun merekonstruksi suatu kejahatan dan tidak kenal lelah untuk mengejar sumber-sumber yang penting.
Kira-kira itulah bayangan pekerjaan dalam jurnalisme (investigasi) yang disebut reportase itu. Gejala reportase yang tidak demikian membikin jurnalisme kita jadi kering, dan kalau dibiarkan jelas mengakibatkan “pembodohan” audiens. Linda Christanty—saya pernah bertemu langsung dengannya di Balai Soedjatmoko Solo beberapa waktu lalu—membawa semangat jurnalisme yang tidak demikian.
Nama Linda—seingat saya—kali pertama saya dengar ketika mengikuti pelatihan jurnalisme investigasi saat masih berstatus aktivis pers mahasiswa dan merintis karier di jurnalisme profesional beberapa tahun lalu. Nama Linda direkomendasikan oleh instruktur pelatihan tersebut, Andreas Harsono.
Saya “mengenal” Linda kali pertama memang dalam ranah jurnalisme. Baru belakangan saya mengenalnya dalam ranah sastra, ketika saya membaca Kuda Terbang Maria Pinto dan Rahasia Selma. Linda direkomendasikan karena punya karya-karya jurnalistik yang mendalam, feature dengan reportase yang jempolan.
Hikayat Kebo adalah “perjumpaan” awal saya dengan Linda. Hikayat Kebo adalah feature (panjang) karya Linda yang menurut saya memang fenomenal. Feature ini berlatar belakang tindak kekerasan massa yang terus meningkat setelah Soeharto, penguasa Orde Baru, turun dari kursi Presiden RI.
Kebo alias Ratno bin Karja adalah pemulung yang gemar memukul dan memeras warga di lapak pemulung di sebuah kawasan di Jakarta. Pada Mei 2001, gara-gara Kebo yang ceroboh karena diperbudak alkohol, lapak para pemulung itu dilalap api.
Kemarahan warga tak terbendung. Kebo dipukuli. Dalam keadaan sekarat dia dibawa ke tempat pembakaran sampah di belakang Mal Taman Anggrek, Jakarta. Seseorang menyiramkan minyak tanah ke tubuh Kebo. Malam itu, dia mati terbakar.
Linda menceritakan peningkatan tindak kekerasan itu dalam kisah kematian Kebo, seorang pemulung, yang tewas dikeroyok massa. Linda dengan teliti, cermat dan mendalam menceritakan kisah kematian Kebo dengan model reportase yang mendalam.
Simak saja deskripsi berikut ini dalam salah satu paragraf Hikayat Kebo:

Kamar Kebo lebih mirip gua. Tanpa jendela. Di siang hari terasa pengap, sedang malam hari begitu lembab. Cahaya matahari dan pergantian udara melewati satu-satunya lubang pada dinding; sebuah pintu yang terbuka. Kebo menggunakan kamar tersebut untuk tidur dan seringkali dalam keadaan teler akibat pengaruh alkohol. Ia gemar minum arak atau anggur hitam. Seorang pelacur biasa menemaninya bersenang-senang. Namun, perempuan yang dibawahnya silih-berganti. Kebanyakan mereka berusia setengah tua dan seringkali berhubungan atas dasar suka sama suka (Jurnalisme Sastrawi, Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, Kepustakaan Populer Gramedia, 2005).

Paragraf itu menerapkan kaidah “show it don’t tell it”, tunjukkanlah, jangan hanya dikatakan. Membaca paragraf itu saya mendapatkan gambaran “konkret” tentang kondisi kamar Kebo. Saya bisa membayangkan bentuk, suasana bahkan bau kamar Kebo itu.

Bila musim hujan tiba lantai bilik tergenang air dan berlumpur. Penghuni lapak mencoba menimbun lantai bilik mereka dengan puing dan kayu, meski air yang turun dari langit nyaris tak terbendung. Kebo melakukan hal yang sama, lalu menjemur karpet yang basah berlumpur.
Lapak-lapak pemulung ini berdiri di atas lahan selus lima hektare. Sebelum gerakan reformasi pada 1998, tanah tersebut tercatat sebagai milik Yayasan Bhakti Putra Bangsa. Papan nama yayasan menancap di atas lahan yang gersang. Hutomo Mandala Putra, putra bungsu mantan Presiden Soeharti, orang nomor satu yayasan itu (Jurnalisme Sastrawi, Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, hal. 77, Kepustakaan Populer Gramedia, 2005).

Deksriptif, naratif dan kaya data. Itulah yang direkomendasikan Andreas Harsono dalam pelatihan jurnalisme investigasi yang saya ikutu ketika dia menyebut karya Linda Christanty itu. Saya sepakat sepenuhnya. Hikayat Kebo adalah feature, karya jurnalistik, yang dihasilkan dengan senjata deskripsi dan narasi.
Saya pastikan Linda mendapatkan bahan-bahan cerita Hikayat Kebo ini dengan laku yang cukup menguras energi. Dia harus merekonstruksi beberapa bagian kisah berdasarkan penjelasan orang-orang di sekitar Kebo plus data hasil observasi langsung, juga data-data dari dokumen yang relevan dengan kisah tindak kekerasan itu.
Reportase mendalam yang dilakukan Linda untuk membangun cerita Hikayat Kebo yang naratif dan deskriptif itulah, menurut saya, menjadi salah satu karya terbaik untuk mendefinisikan jurnalisme sastrawi dalam konteks keindonesiaan.
Narasi dan deksripsi dalam Hikayat Kebo adalah reportase yang sangat kuat. Reportase ini menggali fakta dengan kuat, detail, dan mendalam. Setiap detail berupa fakta. Nama orang, nama tempat, kejadian, dialog, adalah benar-benar terjadi. Fakta, bukan hasil imajinasi atau rekayasa.
Linda menyajikan kisah Kebo dengan verifikasi yang kuat, berlapis, dan tentu menguji setiap fakta. Konflik dalam Hikayat Kebo menyajikan realitas kehidupan masyarakat yang dibahasakan Linda sebagai kekerasan massa yang kian meningkat setelah kekuasaan Orde Baru tumbang.
Jika saya tarik ke kondisi sekarang, saya merasa kisah Hikayat Kebo ini kian sering terjadi. Kebrutalan massa “memburu” jemaah Ahmadiyah, jemaah Syiah, dan teror bom yang berkali-kali terjadi adalah kisah Kebo dalam konteks ruang, waktu, dan substansi yang berbeda.
Konflik yang disajikan Linda dalam Hikayat Kebo menggambarkan banyak hal. Ada konflik orang per orang, konflik kaya dan miskin, konflik penguasa dan rakyat miskin. Linda menyajikan potret konflik itu secara naratif dan deskriptif dengan kisah di seputar sosok Kebo.
Karakter yang disajikan Linda dalam Hikayat Kebo juga sangat kuat. Narasi memang meminta karakter-karakter. Karakter ini yang mengangkat cerita. Dalam Hikayat Kebo ada karakter utama, ada karakter pembantu. Karakter utama hadir dengan ciri yang kuat, tak datar dan memberi warna kuat pada cerita.
Linda pasti memanfaatkan akses untuk mendapatkan fakta-fakta yang mendukung cerita Kebo menjadi narasi yang deskriptif. Akses itu berupa wawancara, dokumen, korespondensi, foto, buku harian, gambar, kawan, musuh dan sebagainya.
Hikayat Kebo sangat berhasil membangkitkan emosi saya. Emosi haru biru, kejengkelan, prihatin. Emosi ini menjadikan cerita Kebo hidup, ada pergulatan batin, ada perdebatan pemikiran.
Karakter yang kuat, fakta yang lengkap dan detail serta emosi yang memikat dibangun menjadi cerita dalam perjalanan waktu yang memikat pula. Saya seperti memandang adegan-adegan perjalan hidup Kebo, adegan kemarahan massa kepada Kebo, adegan pembakaran Kebo.
”Perjumpaan” saya dengan Linda dalam Hikayat Kebo kemudian berlanjut ke buku-buku dan cerpen karyanya. Beberapa waktu lalu saya juga intensif membuka sindikasi Aceh Feature ketika masih di bawah koordinasi Linda. Ciri reportase yang kuat, cerita naratif-deskriptif yang memikat, dan jejak jurnalisme yang “gemilang” tetap saya temukan dalam karya-karya jurnalisme Linda.
Buku Dari Jawa Menuju Atjeh—yang juga memuat Hikayat Kebo—dan Jangan Tulis Kami Terorisadalah kumpulan karya jurnalistik yang sangat memikat—dalam keyakinan saya—yang layak menjadi contoh tentang apa dan bagaimana reportase yang sesungguhnya. Kekuasan narasi Linda saya temukan pula dalam karya fiksinya, Kuda Terbang Maria Pinto dan Rahasia Selma.
Reportase yang sesungguhnya menyajikan fakta dalam bangunan cerita yang berkonteks dan mencerahkan—mencerdaskan—pembaca. Reportase yang sesungguhnya sama sekali bukan “jurnalisme ludah” sebagaimana yang merebak saat ini.

Ichwan Prasetyo
Jurnalis Solopos,
anggota Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Kota Solo

Apakah tulisan ini membantu ?

ichwan prasetyo

Jurnalis, suka membaca, suka mengoleksi buku, sedih bila buku dipinjam (apalagi kalau tak dikembalikan), tak suka kemunafikan.

View all posts

Add comment