Soloensis

Kebiasaan Menjadikannya Norma

Sebenarnya dari manakah asal muasal tradisi Tujuh harinan seseorang itu dilakukan ? Menurut adat istiadat yang berlaku saat ini, tradisi peringatan kematian 3, 7, dan 40 hari atau 100 hari sudah dilakukan sejak zaman dahulu. Di Indonesia tradisi tersebut disampaikan oleh para wali songo sekitar abad 14 yang pada masa itu mereka menyebarkan Islam lewat akulturasi budaya Islam dengan Hindu-Budha.
Saat itu para wali songo menyebarkan Islam dengan jalan damai. Tradisi peringatan kematian tiga atau tujuh hari mungkin ada pada ajaran hindu dan budha. Masa itu dalam penyebaran agama Islam para Wali Songo menggabungkan ajaran agama Hindu dan Budha dengan ajaran Islam. Seperti peringatan tujuh harinan Wali Songo mengganti pemberian sesajen pada arwah dengan pemberian makanan atau sedekah ke tetangga sekitar. Yang pada ajaran hindu budha saat peringatan dibacakan mantera-mantera diganti dengan membaca dzikir. Hal itu dilakukan agar tanpa mereka sadari mereka telah mengikuti ajaran Islam. Dan pembacaan surat Yasin dipilih karena beberapa manfaat membaca surat Yasin.
Menurut Muhammad Sholihin (2010) dalam bukunya Berjudul “Ritual dan Tradisi Islam Jawa” menyebutkan bahwa tradisi kematian tersebut berasal dari tradisi sosio-religi bangsa Campa Muslim. Sementara mereka mewarisinya dari kultur kaum muslim kawasan Turkistan, Persia, Bukhara dan Samarkand, dimana dari kawasan tersebutlah Islam berkembang sampai ke Nusantara. Di Nusantara, salah satu tokoh yang menyebarkan tradisi tersebut adalah Sunan Ampel, yang diteruskan oleh Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati dan sebagainya. (lailatulijtima.wordpress.com, diakses 17,05,2016)
Peringatan tujuh harinan biasanya dilakukan dengan membacakan surat Y asin beserta dzikir dan tahlil, dilanjutkan dengan makan bersama. Tepat pada tujuh hari kematian ditambah dengan tausyiah dari tokoh agama setempat. Dan pemberian sedekah bisa berupa makanan atau sembako pada tetangga sekitar.
Dan mengenai perlu tidaknya dilakukan peringatan kematian seperti tujuh harinan, itu kembali pada kepercayaan pribadi seseorang. Sebenarnya tidak ada tuntunan yang mewajibkan diadaknnya peringatan kematian. Namun sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dan dilakukan terus serta telah berlangsung lama, maka bisa menjadikanya norma dalam masyarakat. Seperti halnya peringatan kematian tradisi ini telah dilakukan sejak masa Wali Songo dan masih dilakukan hingga sekarang. Hal ini membuat banyak orang berfikir bahwa peringatan kematian seperti tujuh harinan menjadi dianggap wajib.
Hal ini sama seperti yang terjadi di daerah saya tinggal, Sawit, Boyolali. Tanggal 2 mei 2016, tetangga saya ada yang meninggal dunia dan keluarga tidak mengadakan acara tujuh harinan. Hal ini membuat keluarga tersebut menjadi bahan pembicaraan yang hangat beberapa hari karena tidak sesuai adat kebiasaan yang berlaku. Ditambah dengan peristiwa salah satu penduduk mengunjungi makam ibunya mengaku melihat si almarhum berdiri diatas kuburannya. Dengan peristiwa yang terjadi pasca meninggalnya almarhum membuat warga berfikir hal itu disebabkan lantaran keluarga tidak mengadakan acara tujuh harinan. Padahal hal itu mungkin hanya kebetulan. Saat saya menghadiri acara tujuh harinan tanggal 9 mei di rumah saudara, saya mendengar tausyiah yang membahas tentang peringatan kematian tiga, tujuh, dan empat puluh harinan. Dalam tausyiah tersebut dijelaskan bahwa tradisi tersebut pernah dilakukan pada masa Tabi’in.
Jika dilihat dari sisi positifnya, tradisi tiga, tujuh, dan empat puluh harinan dilakukan dengan maksud agar keluarga yang ditinggal tidak terlalu larut dalam kesedihan karena banyak orang yang mengunjunginya. Dan membaca surat yasin juga termasuk salah satu ibadah. Pemberian makanan atau sedekah pada tetangga sekitar juga merupakan sedekah yang hal itu termasuk ibadah pada Allah. Tradisi tujuh harinan dan seterusnya juga bisa dijadikan sebagai sarana berdzikir pada Allah, dengan hadir dalam acara tujuh harinan berarti kita juga sekalian ikut berdzikir, meski berdzikir bisa dilakukan di mana saja dan kapan pun. Ibarat kita menimba ilmu di sekolah, kita juga bisa menimba ilmu di tempat lain seperti pengajian. Selain itu kita juga bisa mendapat tambahan ilmu dari tausyiah yang disampaikan tokoh agama saat acara tujuh harinan.
Nama : Nur Rahmawati
NIM : 141211004

Apakah tulisan ini membantu ?

Add comment