Soloensis

Sektor Riil Kuliner Daging Anjing

Anda jangan senewen dulu membaca judul esai saya ini. Term ini saya pakai dalam konteks yang luas. Anda perlu memahami secara menyeluruh substansi esai saya ini agar menjadi diskusi yang membangun dan positif.
Secara pribadi saya emoh sama daging anjing. Saya muslim dan saya meyakini secara teologis saya harus manut dan tunduk tanpa paksaan untuk meyakini bahwa daging anjing itu haram, sama sekali tak boleh saya makan.
Dalam esai ini saya hendak membahas “kesalahkaprahan” rencana Pemerintah Kota Solo memberlakukan peraturan daerah ihwal kesehatan hewan yang–konon–salah satu klausulnya membatasi, bahkan melarang, perdagangan dan konsumsi daging anjing.
Anda bisa mengecek berita ini di Harian Solopos edisi 15 Oktober atau di solopos.com. Landasan berpikirnya, menurut saya, adalah (1) pandangan teologis kaum muslim–yang mayoritas di Kota Solo–bahwa daging anjing itu haram (2) keyakinan bahwa anjing itu mudah menyebarkan penyakit rabies (3) kampanye kelompok penyayang anjing yang tak rela hewan–golongan–piaraan itu “dibantai” dan kemudian dimasak menjadi tongseng, rica-rica, satai, dan lainnya.
Term “dibantai” itu memang pas. Anda bisa mencari banyak informasi atau Anda silakan mewawancarai sendiri pedagang “sengsu”, “rica-rica guk-guk”, “satai wedhus balap”, “satai jamu”, dan sebagainya ihwal cara mereka “membunuh anjing” sebelum dimasak dan dijual.
Anjing tidak disembelih sebagaimana domba, kambing, sapi, atau ayam. Dua cara membunuh anjing yang lumrah adalah dimasukkan karung lalu ditenggelemkan sampai mati atau dimasukkan karung lalu digebuk kepalanya sampai mati. Ini demi memenuhi ekspektasi “pandhemen” daging anjing bahwa anjing yang darahnya mengalir dagingnya tidak enak, “khasiat” untuk kesehatan hilang.
Saya pribadi tergolong “sayang” dengan anjing. Kala saya masih kecil, saat masih sekolah di SD, saya memelihara seekor anjing lokal yang berbadan besar, berbulu lebat, dan “sangat cerdas”. Anjing itu saya beri nama “Doni”. Saya putus hubungan dengan anjing ketika “Doni” ditangkap pedagang anjing–ini saya ketahui sebulan kemudian setelah “Doni” tak pernah pulang ke rumah. Setelah itu sampai kini saya tak memelihara anjing lagi. Ini ditambah keluarga saya yang punya pandangan “banyak madaratnya memelihara anjing daripada manfaatnya”–ini bisa diperdebatkan, tapi saya enggan memperdebatkannya–hehehehehe….
Di kalangan komunitas pencinta dan penyayang anjing, laku membunuh anjing untuk dimasak dan dikonsumsi ini jelas “tak termaafkan”, sama sekali tak punya perikebinatangan, perikeanjingan. Pemahaman demikian ini didukung kecintaan mereka terhadap anjing. Rasanya jelas ngenes, miris, sebel, marah, kasihan, nelangsa, melihat anjing dibunuh dengan cara “biadab” begitu demi dagingnya untuk dimasak lalu dimakan.
Faktual, anggapan bahwa darah anjing yang mengalir membikin dagingnya tak laku di kalangan pencinta kuliner ekstrem daging anjing memang bagian dari realitas kuliner daging anjing. Ini semacam mitos yang diyakini turun-temurun.
Sedangkan ihwal anjing sebagai penyebar penyakit rabies, secara teknis kesehatan hewan mudah penyelesaiannya. Sebelum “dibantai” ya harus dicek dulu, mengidap penyakit rabies atau tidak.
Solopos memberitakan, berdasar data Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (Disnakkeswan) Provinsi Jawa Tengah (Jateng), konsumsi daging anjing di Jateng tergolong tinggi.
Kepala Disnakkeswan Jateng Agus Wariyanto mengatakan setiap hari sekitar 223 ekor anjing dipotong untuk dikonsumsi warga. Masyarakat mengonsumsi daging anjing meningkat karena menganggap kuliner “ekstrem” ini sebagai gaya hidup. Konsumsi daging anjing di Jateng menempati peringkat kedua setelah DKI Jakarta.
Di wilayah Jateng, konsumsi daging anjing paling banyak di Solo, yakni 63 ekor/hari; kemudian Klaten sebanyak 25 ekor/hari; disusul Kota Semarang dan Kabupaten Semarang masing-masing 22 ekor/hari.
Populasi anjing di Jateng cukup tinggi, mencapai 74.801 ekor. Populasi anjing di Wonogiri tergolong paling banyak, sekitar 13.000 ekor. Sejak 1997 Jateng dinyatakan bebas dari penyakit rabies!
Pengawasan anjing di Jateng menggunakan payung hukum UU No. 18/2009 juncto UU No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Manajer Program Animal Friends Jogja (AFJ) Angelina Pane meminta Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menghentikan perdagangan anjing yang marak di Jateng. Dia mengungkapkan perdagangan anjing di Jateng mencapai 2.000 ekor/pekan.
Angelina mengatakan Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan pernyataan daging anjing tidak layak dikonsumsi dan dinyatakan ilegal. AFJ meminta dukungan Gubernur Jateng menghentikan perdagangan anjing.
Penjabat (Pj) Wali Kota Solo, Budi Suharto, berinisiatif mengajukan raperda kesehatan hewan agar produk pangan yang dihasilkan di Kota Solo berdaya saing dan terjamin kesehatannya. Salah satu muatannya–konon–adalah pembatasan perdagangan daging anjing. Di kalangan pencinta kuliner daging anjing di Solo malah ada pemahaman substansi raperda itu nanti adalah melarang perdagangan daging anjing.
Nah, inilah yang saya kira perlu dipikirkan lebih dalam. Keharaman daging anjing itu “mutlak” bagi kaum muslim–dalam perspektif teologis. Keharaman daging anjing juga “mutlak” di kalangan pencinta anjing. Pencinta anjing ini beragam, tak terbatas jenis kelamin, suku, agama, ras, kelas sosial, umur, dan sebagainya.
Pertanyaannya: apakah yang tidak muslim dan “bukan” pencinta anjing juga harus tak boleh makan daging anjing? Menurut pandangan saya, faktual kuliner daging anjing adalah bagian dari ekonomi mikro.
Solusi yang dibutuhkan adalah menjaga kesehatan daging anjing–tak mengandung virus penyebab rabies dan virus atau bakteri penyebab penyakit lain yang berbahaya bagi manusia–dan membuat sistem pengolahan daging anjing menjadi beradab.
Saya rasa perlu ada penelitian yang ilmiah untuk membuktikan benar tidaknya mitos bahwa darah anjing yang mengalir membikin dagingnya tak enak dan kehilangan “khasiat” untuk kesehatan. Perlu ada penelitian yang ilmiah untuk membuktikan benar tidaknya mitos bahwa daging anjing itu berkhasiat untuk kesehatan manusia. Yang jelas WHO telah mengeluarkan pernyataan seperti di alinea di atas.
Dengan perspektif ini, raperda yang diusulkan Pemkot Solo akan lebih logis dan bijak ketika substansinya mendorong pada perilaku dan sistem ketat untuk menjaga kesehatan anjing dan membuat sistem pengolahan daging anjing menjadi beradab.
Saya kok yakin siapa pun manusianya, mengharamkan daging anjing atau tidak, pencinta anjing atau tidak, akan merasa sangat miris, marah, dan tak tega ketika melihat langsung “pembantaian” si guk-guk.
Di Solo, kuliner daging anjing adalah bagian dari sektor riil yang tangguh. Apa ini mau dimatikan dengan raperda yang substansinya melarang konsumsi daging anjing–ketika menjadi perda dan diberlakukan?
Ide otoritas di DKI Jakarta–anda bisa cek ini di kultwit @kurawa–yang hendak memberlakukan aturan ketat tentang penjagaan kesehatan anjing, membuat sistem pengolahan daging anjing menjadi beradab, menata perdagangan daging anjing, dan sebagainya bisa ditiru Pemkot Solo. Dog lovers tak perlu senewen dengan ide ini–dan esai saya ini–karena ketika sistem tersebut diberlakukan dengan tegas pasti kuliner daging anjing akan menyusut.
Nanti harus ada aturan tegas dan ketat tentang penyembelihan anjing. Anjing harus disembelih, bukan ditenggelamkan atau digebuki sampai ko’it. Konsekuensinya ya harus di penjagalan resmi agar bisa dipantau otoritas kesehatan hewan. Nah, pencinta daging anjing yang meyakini mitos di atas akan “gigit jari”.
Saya kira solusi demikian lebih bijak. Soal perdebatan anjing itu hewan piaraan yang tak layak dikonsumsi masih bisa jadi perdebatan panjang dan lebar. Kalau soal teologis, bahwa bagi kaum muslim daging anjing itu haram ya jelas sudah final. Cuma, yang final ini kan tak bisa mengatur yang bukan muslim atau yang muslim tapi tak taat pemahaman teologis ini. Mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kan tidak boleh mutlak-mutlakan…. kira-kita begitu. Silakan didiskusikan.

Apakah tulisan ini membantu ?

ichwan prasetyo

Jurnalis, suka membaca, suka mengoleksi buku, sedih bila buku dipinjam (apalagi kalau tak dikembalikan), tak suka kemunafikan.

View all posts

1 comment

  • Kira-kira apa pendapat Cesar Milan jika mengetahui anjing menjadi santapan manusia di Solo ya? Cesar Milan adalah pembawa acara Dog Whisperer di jaringan televisi kabel. Dia seorang penyayang anjing dan pelatih anjing yg sangat memerhatikan psikologi anjing dan pemilik anjing. Some say dog is men’s best friend