Soloensis

Ini Bukan “perang” Primordialisme…

Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) Jakarta usai sudah. Dari hasil hitung cepat lembaga survei, semua memprediksi pilkada Jakarta akan berjalan dua putaran karena tidak ada pasangan calon yang memenangi 50%+1 suara. Pasangan Agus-Silvy dipastikan tersingkir, tinggal pasangan Ahok-Jarot dan Anies-Sandi yang akan melenggang menuju Pilkada putaran kedua pada 19 April mendatang.

Saya mengapresiasi pasangan Agus-Silvy yang secara ksatria mengakui kekalahan serta mengucapkan selamat kepada dua pasangan calon lainnya setelah mengetahui secara pasti dirinya akan tersingkir. Ini penanda baik terhadap iklim demokrasi kita ke depan, baik untuk pemilu skala lokal maupun nasional. Satu hal yang patut kita syukuri, Pilkada Jakarta berjalan baik dan aman-terlepas dari beberapa kekurangannya—sekalipun masa menjelang Pilkada kita menyaksikan panggung politik yang begitu mengobok-obok suasana batin kita sebagai warga bangsa.

Hari-hari ke depan menjelang 19 April, saya yakin persaingan kedua pasangan, Ahok-Jarot vs Anies-Sandy akan semakin sengit. Masing-masing pihak akan mengerahkan semua kekuatannya untuk memenangi kontestasi. Pilkada Jakarta putaran kedua merupakan pertaruhan hidup-mati bagi pasangan calon berikut kekuatan politik yang menyokongnya. Memenangi pilkada Jakarta—sebagai Ibu Kota negara—juga menjadi momentum strategis menuju pertarungan pemilihan presiden (pilpres) pada 2019 mendatang.

Saya sedikit lega karena Anies Baswedan, dalam beberapa kesempatan wawancara di stasiun TV, mengatakan akan fokus berkampanye pada program. Ini artinya Anies tidak akan keluar dari rel dengan menyinggung persoalan ikatan primordialisme lawan. Anies hendaknya benar-benar konsisten dengan janjinya itu. Kita juga berharap Anies bisa memengaruhi tim sukses dan para pendukungnya untuk tetap fokus berkompetisi pada program kerja. Harapan sama kepada pasangan Ahok-Jarot agar juga tetap fokus pada tawaran program kerja ketimbang masuk pada wilayah SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) dalam rangka merebut simpati publik.

Lelah

Bangsa ini sudah lelah dengan persoalan primordialisme yang mengiringi pilkada Jakarta. Energi bangsa terkuras untuk memikirkan sesuatu yang sebenarnya bisa sama-sama kita hindari kalau kita punya kemauan baik. Tapi, ya itulah politik. Pihak-pihak yang berkepentingan akan menggunakan segala cara untuk meraih kemenangan. Dan, salah satu cara mudah ya mengusik isu berbau SARA. Pada batas-batas tertentu isu SARA efektif untuk membungkam lawan meskipun sangat tidak mendidik. Dalam pemilu, setiap orang secara independen berhak menentukan pilihan berdasarkan suara nuraninya. Setiap orang bisa punya begitu banyak pertimbangan sebelum menentukan pilihan. Pilihan berdasarkan pertimbangan agama, memang tidak melanggar konstitusi, begitu kata Pak Menteri Agama kita, Lukman Hakim Saifudin dalam sebuah cuitan di media sosial. Yang perlu diingat Pak Menteri, urusan agama merupakan wilayah privat masing-masing individu. Bila pertimbangan agama dalam menentukan pilihan itu hanya disimpan di ruang privat, monggo saja, silakan, karena memang tidak ada aturan negara yang melarang.

Problemnya pertimbangan SARA itu, dari berbagai pengalaman pilkada Jakarta (pemilu lainnya), sengaja dimasukkan ke ruang publik, sebagai bahan untuk kampanye, menarik simpati serta mengalahkan lawan dengan biaya “murah” meski konsekuensinya sangat mahal : ancaman disintegrasi bangsa. Ruang publik, apapun medianya, ruang publik adalah ruang “sakral” yang menjadi untuk ajang berdiskusi, berdialog, bertukar pikiran secara cerdas dan sehat tanpa mengenal batas primordialisme. Siapapun boleh masuk ke sana.

Latar belakang kebangsaan kita yang begitu majemuk, perlu menjadi perhatian serius agar keadaban di ruang publik ini bisa kita jaga. Etika publik diperlukan agar wacana kita di ruang publik tidak melukai orang yang dianggap out-group (kelompok lain). Agaknya etika di ruang publik ini yang masih menjadi masalah serius bangsa kita. Orang begitu enak, misalnya, mengkafirkan orang lain, tanpa memedulikan perasaan orang yang dicap “kafir” itu. Orang begitu mudah mencap orang lain “China” (untuk sesuatu yang bernada negatif) tanpa memedulikan banyak orang di ruang publik itu beretnis China—sekarang Tionghoa, dsb.

Saya memang masih pesimistis, kompetisi Ahok-Jarot vs Anies Sandi akan benar-benar steril dari hal SARA. Toh meski baru sehari pilkada usai, di media sosial mulai bertebaran konten-konten SARA untuk menyerang salah satu pasangan, terutama ke Ahok-Jarot. Saya tidak bisa membayangkan betapa hebohnya hari-hari ke depan di jagat medsos kita.

Sekalipun demikian, sebagai anak bangsa, tak perlu lelah terus mengingatkan : pilkada bukanlah pertaruhan hidup-mati urusan primordialisme. Tapi pilkada Jakarta bisa menjadi pertaruhan hidup-mati bagi masa depan bangsa ini bila kita lupa pada hakekat, tujuan pilkada ini. Bahwa pilkada bukan perang agama, pilkada bukan perang etnis. Pilkada Jakarta adalah kompetisi secara sehat dan fair terhadap siapa yang paling berhak memimpin Ibu Kota lima tahun ke depan. Pilkada bukan untuk memilih siapa pemimpin agama kita….

Ingat..ingat….ingat…….

Solo, 16 Februari 2017

Apakah tulisan ini membantu ?

sholahuddin

Laki-laki pencari Tuhan.....

View all posts

Add comment