Soloensis

Pekerjaan Teroris Kini Lebih Ringan

Catatan kritis dari aksi teror di kawasan Sarinah, Jakarta, yang sejauh ini diklaim kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) adalah ihwal “pekerjaan” teroris yang kian ringan di tengah “masyarakat kerumunan” yang selalu bernafsu ingin menjadi yang “ter” di media sosial.

Marshall McLuhan pernah mengemukakan sebuah tesis bahwa without communicatin terorism wouldn’t exist. Argumentasinya adalah setiap tindakan teror memerlukan publikasi. Setiap teroris butuh media untuk menyebarkan atau mengabarkan tindakannya. Pamrihnya adalah menyemai rasa takut di kalangan massa.

Kantor Berita Antara, Kamis 14 Januari 2016, memberitakan data peristiwa teror di Jakarta yang terjadi sejak 1957 hingga Novembere 2015. Berikut ringkasan peristiwa teror bom di Jakarta dan sejumlah tempat di Indonesia yang saya kutip seluruhnya dari Antara.

1957: Teror bom pertama yang meledak setelah Indonesia merdeka. Presiden Soekarno yang sedang berkunjung ke sekolah Perguruan Cikini, Jakarta Pusat, hendak dibunuh melalui ledakan bom. Bung Karno selamat pada serangan saat hari ulang tahun (HUT) Perguruan Cikini, yang juga menjadi tempat anak-anaknya bersekolah.

1976: Pada era Soeharto, setelah sekian tahun tidak ada teror bom, tiba-tiba Masjid Nurul Iman di Padang, Sumatera Barat, diledakkan orang tidak dikenal. Pelakunya tak pernah tertangkap. Menurut aparat keamanan, pelakunya bernama Timzar Zubil, yang tidak bisa dikonformasi kebenarannya hingga kini.

1978: Masjid Istiqlal, Jakarta, diteror bom, dan belum diketahui pelaku dan motifnya hingga kini.

4 Oktober 1984: Bank BCA di Pecenongan, Jakarta Pusat, diledakkan. Beberapa nama terkenal terseret kasus ini, seperti AM Fatwa, Letnan Jenderal (Purnawirawan) HR Dharsono, mantan Menteri Perindustrian HM Sanusi. Kebanyakan adalah anggota Petisi 50 yang kritis terhadap cara Soeharto memerintah Indonesia. Menurut pengakuan pelaku di lapangan, aksi ini merupakan pelampiasan kekecewaan mereka atas Peristiwa Tanjung Priok.

1985: Satu bus malam, Pemudi Express, diledakkan di daerah Banyuwangi, Jawa Timur. Pelakunya adalah Abdul Kadir Alhasby. Teror bom ini diduga kuat ada kaitannya dengan kasus Tanjung Priok.

Di tahun yang sama, sejumlah stupa di Candi Borobudur, Jawa Tengah, berantakan dihajar bom. Tempat suci agama Budha itu dibom kelompok radikal keagamaan berlatar politik. Dua bersaudara Abdulkadir bin Ali Alhabsyi dan Husein bin Ali Alhabsyi dituding sebagai pelaku peledakan Candi Borobudur.

1986: Kali ini pelaku bom [tepatnya roket. pen] adalah orang asing yang menamakan dirinya Brigade Anti Imperialisme dari Jepang. Sasarannya adalah Wisma Metropolitan dan Hotel Presiden (sekarang Hotel Nikko). Kedua bangunan tersebut milik pemerintah yang dibangun dengan rampasan perang dari Jepang.

Kelompok dari Jepang itu diduga akan meluncurkan roket dari kamar Hotel Presiden ke Kedutaan Besar Jepang di Jakarta dan Kedutaan Besar Kanada di Jakarta. Saat itu, ekonomi Indonesia masih sangat mengandalkan utang dari Kelompok Antarpemerintah bagi Indonesia (Intergovernmental Group on Indonesia/ IGGI), yang menempatkan Jepang pemberi utang utama.

1991: Anak buah gerilyawan Fretilin, Kay Ralla Xanana Gusmao, meledakkan bom di Demak, Jawa Tengah. Jakarta sangat represif pada pergerakan di Dili, Timor Timur, itu yang puncaknya adalah peristiwa Santa Cruz, di Dili,

1991. Satu Hotel juga diledakkan di Surabaya.



1998: Pada awal reformasi Januari 1998, bom meledak di rumah susun Senen, Jakarta.
Di tahun yang sama tempat parkir kendaraan di Atrium Plaza di Jakarta Pusat, diledakkan. Sejumlah mobil rusak berat.
1999: Pusat perbelanjaan Ramayana di Jalan Agus Salim (dikenal sebagai Jalan Sabang), Jakarta Pusat, diledakkan sehingga merusak bagian toko itu. Pelakunya sama dengan pelaku di Atrium Plaza, pusat perbelanjaan Senen, Jakarta Pusat.
, pada 1998.
Di tahun ini pula pusat perbelanjaan Plaza Hayam Wuruk di Jakarta Barat, diledakkan sejumlah pemuda yang mengaku anggota Angkatan Mujahidin Islam Nusantara.

Malam Natal 2000: Sejumlah gereja yang dipenuhi jemaat yang merayakan Malam Natal di Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Bandung, Mojokerto, Mataram, Pematang Siantar, Medan, Batam, dan Pekanbaru, diledakkan. 

Inilah awal keterlibatan Hambali dalam rangkaian teror di Indonesia. Pria asal Cianjur yang ditangkap di Ayutthaha, Thailand, 2003, oleh aparat intelijen Thailand. Ia menunjuk Imam Samudra untuk pelaksana aksi teror di Batam dan Idris alias Gembrot untuk Pekanbaru.

1 Agustus 2000: Bom meledak di kediaman Duta Besar Filipina untuk Indonesia, di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, dan menewaskan dua stat kedutaan besar negara ASEAN itu.

September 2000: Bom dengan skala besar meledak di tempat parkir Gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ). Korban tewas 10 orang, terluka 15 orang dan puluhan mobil rusak. Peristiwa ini sempat mengguncang bursa nasional.

Juli 2002: Bom meledak dan mengagetkan warga Cijantung, Jakarta Timur, karena terjadi di Graha Mall Cijantung, Jakarta, dekat komplek Kopassus TNI AD. Graha Mall Cijantung dimiliki yayasan yang bernaung di bawah Kopassus TNI AD.

12 Oktober 2002: Bom meledak di Paddy’s Cafe dan Sari Club, dua restoran di Jalan Legian, Kuta, Denpasar, Bali. Tiga ledakan terjadi di dekat kantor konsulat Amerika di Renon, Denpasar. Ledakan di Legian menewaskan 187 orang dan 385 luka-luka. Teror ini terkenal dengan tragedi Bom Bali I.

5 Agusutus 2003: Bom meledak di Hotel JW Marriot, Jakarta. Pelakunya, Asmar Latin Sani, alumnus Pesantren Ngruki, yang mengendarai Toyota Kijang berisi bahan peledak. Model bomnya mirip bom Bali yang menggunakan bahan campuran organik dan anorganik. Korban tewas 14, dan luka-luka 156.

10 September 2006: Bom meledak di Kedutaan Besar Australia, Jakarta. Jumlah korban sekitar 6 sampai 9 orang. Yang tewas satpam kedubes dan pemohon visa.

1 Oktober 2005: Bom meledak di Kuta Bali. 22 orang tewas dan 196 orang luka-luka. Bom meledak di tiga tempat: Kafe Nyoman, Kafe Menega, dan Restoran Raja’s di Kuta Square, Denpasar. Tragedi ini kerap disebut Bom Bali II.

17 Juli 2009: Bom meledak di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton. Ledakan bom Marriot merupakan yang kedua kalinya, setelah 2003. Sembilan korban tewas dan puluhan luka-luka.

April 2015: Sedikit-dikitnya empat orang cedera akibat ledakan di permukiman padat penduduk di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu petang itu. Ledakan terjadi di dalam sebuah rumah bedeng dari papan dan tripleks di sudut sebuah lapangan di belakang Gang Kayu Mati, Jalan Jatibunder, Tanah Abang, sekitar pukul 15.00 WIB.

Juli 2015: Bom meledak di Mall Alam Sutera, Tangerang, Banten.

28 Oktober 2015: Bom kembali meledak di Mall Alam Sutera. Saksi mata menerangkan ada suara ledakan pada pukul 12.05 di dalam toilet kantin karyawan di lantai LG Mal Alam Sutera. Polisi menangkap seorang pelaku tunggal.

November 2015. Ledakan terjadi di Jalan Raden Inten, Duren Sawit, Jakarta Timur, pada Senin (16/11) dini hari WIB. Berdasarkan keterangan sejumlah saksi mata kepada aparat, ledakan berlangsung di seberang Gedung Senam, pada pukul 03.30 WIB. Diduga pelaku memakai granat tangan.

Semua peristiwa teror di atas selalu diikuti dengan publikasi. Saya berasumsi perencana teror itu pasti memperhitungkan “keterlibatan” media yang secara otomatis akan memberitakan, menyiarkan, mengabarkan aksi teror yang mereka lakukan.

Jamaknya aksi-aksi teror yang dilakukan sebelum era media sosial selalu dilakukan dengan dua modus besar demi menarik “keterlibatan” media. Pertama, lokasi teror adalah kawasan bisnis, terutama bisnis “kesenangan”, bisnis “leisure”, kawasan pariwisata, kawasan yang menjadi tempat berkumpulnya banyak orang.

Kedua, aksi teror selalu diikuti dengan pernyataan “pertanggungjawaban” dari pelaku teror atau dari perencana atau dari organisasi yang mensponsori aksi teror itu. Begitu bom meledak di kawasan tempat berkumpulnya banyak orang, otomatis media massa segera terlibat mengabarkannya ke seluruh penjuru dunia. Sang teroris mendapatkan “bantuan” menyemai ketakutan melalui pemberitaan itu.

Begitu penembakan, bom meledak, atau pembunuhan dengan modus lainnya terjadi, pada era sebelum era media sosial, jamaknya kemudian diikuti dengan pernyataan pihak yang mengaku bertanggung jawab sebagai pelaksana atau sponsor teror tersebut.

Keterlibatan Brigade Anti Imperialisme dari Jepang yang meluncurkan roket di Wisma Metropolitan 1 dan 2 di Jakarta pada 1986, seingat saya [saya membaca kisah teror di Wisma Metropolitan 1 dan 2 di Majalah Tempo], diperoleh dari pernyataan kelompok itu yang disampaikan kepada media massa.

Kini di era media sosial, pekerjaan teroris menjadi kian ringan. Yang saya maksud kian ringan adalah langkah ikutan setelah tindakan teror, yaitu publikasi untuk menyemai ketakutan di kalangan massa, yang kini diambil alih oleh kerumunan di media sosial.

Begitu bom [bom lempar, ada yang menyebut granat] meledak di kawasan Sarinah, Jakarta, yang diikuti tindakan bengis teroris menembaki polisi kabar itu langsung menyebar di media sosial, lengkap dengan foto [foto benar-benar kejadian teror itu atau foto-foto hoax yang dijadikan ilustrai] dan teks-teks yang menjelaskan foto-foto itu.

Kabar yang menyebar di media sosial itu juga dilengkapi dengan rekaman video. Rekaman video ini ada yang berasal dari kamera CCTV di kawasan Sarinah, ada pula yang berasal dari inisiatif orang-orang yang saat itu tak jauh dari lokasi teror dan sang teroris. Gaya hidup yang tak pernah lepas dari gadget memungkinkan peristiwa apa pun terdokumentasi, walau secara tidak “disengaja”, ya gara-gara banyak orang memegang gadget itu.

Persebaran kabar teror ini di media sosial disertai berbagai analisis. Ada yang mengutuk keras, ada yang nyinyir dengan menilainya sebagai hasil konspirasi untuk mengalihkan isu [salah satunya, konon, untuk mengalihkan isu dari divestasi saham PT Freeport Indonesia], ada yang menjadikannya bahan candaan, guyon, lengkap dengan meme-meme yang nyinyir pula.

Apa pun konten persebaran kabar di media sosial itu semuanya mencakup “kepentingan teroris”, yaitu amplifikasi aksi teror itu. Persebaran kabar teror di tengah kerumuman masyarakat kita di media sosial yang sebagian besar, menurut saya, belum, cerdas bermedia sosial memungkinkan amplifikasi teror itu menjadi berlipat-lipat.

“Kegembiraan” kerumuman massa di media sosial menyebarkan, saling membagikan, atau memviralkan kabar tentang teror itu sangat efektif menyemai kekhawatiran dan ketakutan. Demikian pula munculnya “hashtag” #KamiTidakTakut yang konon sebagai repons “positif optimistis” untuk melawan persemaian ketakutan dan kekhawatiran akibat teror itu sesungguhnya juga mengandung amplifikasi teror itu sendiri.

Hal terpenting yang harus ditelaah secara kritis adalah gaya kerumunan massa–kita–di media sosial yang mayoritas memang belum bermedia sosial secara cerdas yang berdampak melipatgandakan amplifikasi teror di kawasan Sarinah itu.

Hal mendasar yang harus segera ditanamkan di benak dan kesadaran kita, bahkan di ruang bawah sadar kita, adalah kehendak bersama untuk mencegah munculnya teror serupa. Caramya sebenarnya sederhana, yaitu “mengamplifikasi” budaya asli kita: bergaul, srawung, bertetangga.

Teroris tak akan bisa hidup di tengah masyarakat yang terbuka, egaliter, bertetangga dengan baik, lekat dengan budaya srawung yang saling menghormati. Teroris bisa hidup–dan hanya bisa hidup–di lingkungan yang warganya saling acuh tak acuh, saling tak peduli, eksklusif satu sama lain….

Satu lagi, without media social and stupidity terorism wouldn’t exist….

Ichwan Prasetyo
Buruh di sebuah pabrik koran di Solo

Apakah tulisan ini membantu ?

ichwan prasetyo

Jurnalis, suka membaca, suka mengoleksi buku, sedih bila buku dipinjam (apalagi kalau tak dikembalikan), tak suka kemunafikan.

View all posts

Add comment