Soloensis

Rihlah Lingkaranku

Rihlah
Kami sudah membuat janji berkumpul di halaman masjid Raya Mujahiddin, begitu instruksi dari murobbi. Pagi itu kabut masih cukup pekat, cuaca juga masih terasa dingin menusuk tulang. Ting tung begitu kira-kira suara jam berdering tepat pukul tujuh pagi, eitz tak lupa kami foto bareng dulu sebelum pergi. Berpasang-pasangan satu motor untuk dua orang. Aku berboncengan dengan sahabatku namanya Eldi. Kami menuju rumahku di Teluk Pakedai, perjalanan kami selama satu setengah jam. Wajah-wajah bahagia menghiasi perjalanan. Senyum dan tawa tak henti menambah keceriaan, mengeratkan keakraban di antara kami.
Singkat cerita sampailah kami di rumahku, kebetulan aku juga sudah lama gak pulang ke rumah mungkin sudah tiga minggu. Rencana bakar ayam segera di kerjakan, langkah awal mecari bahan pokok ayam potong. Empat ekor ayam yang kami beli dengan bobot tujuh kilo empat ons. Penyiangan sudah beres, tempat bakar-bakar juga udah beres, tinggal proses pengerjaan inti. Taaarrra ayam udah mateng ni ucap salah seorang di antara kami memecah keheningan. Hem hem bau nya harrruum sahut yang lain, entah siapa itu.
Wajah-wajah kekenyangan, canda tawa meredung, menandakan hasyrat kepengen tidur. Kita ke air terjun yok adek-adek, terdengan jelas ajakan murobbi. Selang beberapa detik ada yang merespon, dimana itu bang? Abang juga belum tahu ni, Hadi mungkin tahu ucap MR. Saya agak lupa jalannya ni bang. Yah ,,, sahutan kesal teman-teman yang antusias. Ayok kita pergi kalau kalian semua mau. Ayok ayok sahut yang lain, tapi perjalanan nya cukup jauh lo ni. Pergilah kami semua ke air terjun menggunakan motor. Lama perjalanan kurang lebih selama satu setengah jam, perjalanan yang cukup melelahkan. Uh bayar-bayar uang parkir, bendahara/ berapa satu motornya pak ? Tanya Ahmadi selaku bendahara di kelompok liqo’ kami. Sepuluh ribu saja dek. Administrasi parkir sudah beres, ayok kita mendaki ke atas.
Dari kejauhan samar-samar ada tulisan “ Naik ke atas bayar lima ribu/orang” wah bayar lagi ni dek, Tanya Ahmadi kepada anak kecil yang jaga pintu gerbang. Cuma lima ribu bang. Baiklah ini untuk Sembilan orang ya. Terima kasih bang. Mendaki perlahan-lahan kami semua. Aku duluan karena tau kondisi lokasi yang begitu terjal, sambil member arahan pada yang lain. Hah hah kelelahan. Tersengal-sengal. Bernafas pun terbata-bata. Berhenti sebentar demi mengistirahatkan kaki dan paru-paru yang kelelahan. Aku dan temanku fahri sampai duluan di air terjun, ah ternyata ada yang duluan datang tepat di bawah air terjun. Kita ke atas aja fahri, ucapku. Sejuk sekali air ini ya. Haus, tapi kita tidak bawa air tadi. Eh ngomong-ngomong mana yang lain ni fahri. Masih di bawah di. Haha lama nya mereka ya. Mungkin bang aby ndak nyampe atas ni. Aku coba naik ke atas lagi ya di, kata fahri. Oke. Lama aku baring di atas pohon tumbang, fikirku mana mereka ni kok lama banget, coba aku lihat ke atas. Ternyata mereka udah di atas, loh kok udah pada di sini, lewat mana ? Tanyaku kaget.
Kami habiskan waktu di air sejuk berjam-jam lamanya. Sejuk di badan bisa langsung diminum pula. Bermain air, mandi, membasahi badan, foto-foto bersama lingkaran. Tak terasa sudah jam setengah enam petang, yok adek” kita pulang. Duh udah hamper gelap, ayok lah bang. Kami beranjak pulang ke rumah masing.
Perjalanan bersama mereka menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagiku, karena ketika sulit mereka menjadi pemompa semangat bagiku. Kini kami menjalani hidup baru dengan bekerja di tempat yang berbeda-beda. Selamat bekerja sahabat, semoga sehat selalu dan sukses untuk kita semua. #soloensis

Apakah tulisan ini membantu ?

HadiMustakim

Namaku Hadi Mustakim, Teman-teman akrab memanggilku hadi. Iya begitulah aku senang di panggil. Aku lahir di Lampung, 24 April 1994 dengan menangis, normal seperti bayi pada umumnya. Aku di besarkan di lingkungan yang sederhana, namun aku bersyukur dengan semua nikmat yang Allah berikan dan aku bangga memiliki orang tua sebaik mereka.

View all posts

Add comment