Soloensis

Idealnya Memang Full Day

Wacana tentang Full Day School oleh menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang baru ini membuat hampir seluruh masyarakat Indonesia tidak sepaham dengannya. Selama hampir sepekan ini media sosial ramai dengan aksi penolakan FDS berupa gambar ‘meme’ dan sebagainya. Namun, tidak sedikit juga yang mendukung wacana full day school segera diterapkan. beda kepala, beda pemikiran.

Beda kepala, beda pemikiran. seperti inilah yang terjadi pada sistem pendidikan di negeri ini. Setiap pergantian menteri, ada saja kebijakan yang di ubah. di salah satu akun facebook teman saya tertulis “full day school memang harus diterapkan mulai sekarang. agar waktu anak-anak bermanfaat. sekarang anak-anak pulang sekolah bukannya belajar malah asik main ps, pacaran, kelayapan ngabisin uang. belajarnya di sekolah 6 jam sia-sia dong? lanjutkan pak menteri!”. Salah satu bentuk dukungan pada wacana FDS ini mungkin sedikit masuk akal. tapi bagaimana dengan tulisan di akun facebook dosen saya beberapa hari lalu.. “Pak menteri ini jelas kurang adventure, coba sana ke kaki Gunung Merapi. Kalau full day school diterapkan di sana, bakal hilang keseimbangan alam di sana. Anak-anak di kaki Merapi itu anak-anak alam yang butuh tiap hari bersatu dengan alam. Itu mereka peroleh saat sekolah bubar pukul 11.30 atau maksimal pukul 13.00. Lebih dari itu, mereka bisa mati di sekolahan….dan wedhus serta sapi piaraan mereka juga mati karena tak ada yang ngarit…. Hakikatnya adalah full day school tak bisa diberlakukan sama di seluruh Indonesia. Full day school itu hanya berlaku di kawasan homogen: orang tua sibuk, orang tua berkelimpahan uang, kawasan perkotaan, anak-anak tak punya ruang publik untuk bermain, sekolahan punya sarana-prasarana pendukung, guru tak sekadar jadi guru, kurikulum pengajaran dan pendidikan tak membosankan. Dan ini hanya bisa diberlakukan di sangat sedikit tempat di Indonesia Raya ini….”

yaah begitulah. beda kepala beda pemikiran. tapi idealnya, pendidikan memang harus full day school. tholabul ilma minal mahdi ila llahdi, “tuntutlah ilmu sejak biaian hingga liang lahat”. barangkali kalimat tersebut sepaham dengan wacana pak menteri. untuk menghadapi kehidupan yang kejam, anak-anak negeri memang harus di timpa dengan pendidikan yang maksimal. kita harus menyiapkan generasi penerus bangsa, para pewaris peradaban dunia dengan sistem pendidikan full day. kalau tidak, mau jadi apa negara kita ini? sudah banyak negara maju yang menerapkan sistem FDS. lalu bagaimana dengan Finlandia yang hanya memberikan pelajaran 4 jam/hari untuk SD dan SMP, dan sistem pendidikan di SMA Finlandia malah sudah seperti kuliah.

tapi.. metode sekolah full day memang tetaplah yang paling ideal. apabila dipahami bahwa setiap tempat adalah sekolah, dan semua orang adalah guru. rumah itu sekolah, jelan raya itu sekolah, warung dan toko itu sekolah, sawah gunung laut dan alas luas itu sekolah. para pengajar itu guru, orang tua itu guru, tukang parkir, tukang ojek, tukang sampah, penjual bakso, penjual siomay, penjual mainan, penjual eskrim, penjual bubur kacang ijo, penjual nasi pecel, penjual gorengan, penjual rebusan, penjual bakaran, penjual tumisan, penjual koran, sopir angkot, sopir bus, (masih banyak males ngetik), pokoknya semua orang adalah guru. bahkan teman sebaya pun bisa jadi guru. beberapa orang mungkin bisa belajar dari binatang, maka binatang itu adalah guru. (tapi jangan dibalik). semua tempat adalah sekolah dan semua orang adalah guru, karena proses belajar itu bisa dimana saja dan kapan saja. tidak mulu-mulu tentang ruangan persegi dengan papan tulis di depan, tidak selalu identik dengan seragam yang di atur sesuai jadwal senin hingga sabtu. pendidikan itu luas, tak terbatas.

Dan jelas saja, apa yang di maksud pak Muhajir Effendi tentang full day school berbeda dengan apa yang saya magsud. Full Day memang lebih ideal. dari informasi yang saya terima, beliau mengeluarkan wacana full day school itu untuk anak SD dan SMP, lantaran ingin memberikan jaminan anak-anak melakukan kegiatan positif. dengan kebijakan beliaulah nasib anak-anak, adik-adik kita di pertaruhkan. Untuk memenuhi amanat pembukaan UUD 1945 pada alenia terakhir “Mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Apakah tulisan ini membantu ?

Niken Prahastiwi

Mahasiswi Komunikasi Penyiaran Islam di IAIN Surakarta angkatan 2014

View all posts

Add comment