Soloensis

How To Handle Your Customer’s Complaint

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menghadapi komplain atau malah kitalah yang justru mengajukan komplain. Silakan melihat di pos pembaca di sejumlah media cetak, rata-rata selalu ada keluhan dari customer. Jika posisi Anda sebagai pihak yang (berpotensi) dirugikan, tentulah Anda akan mengajukan komplain.

Namun, tak semua komplain (sesungguhnya) bisa tertangani dengan baik dan menghasilkan win win solustion. Karena yah, kita tak bisa memuaskan semua orang.
Ada ilmunya untuk mengenali tipe-tipe customer sehingga petugas CS bisa menerapkan perlakuan yang tepat.

Saya tak hendak membahas tentang ilmu tersebut karena bukan keahlian saya. Saya ingin menempatkan diri saya sebagai konsumen. Sebagai konsumen, saya juga pernah mengajukan komplain. Pengalaman yang paling saya ingat saat makan di salah satu restoran di Solo, saya menemukan semacam serat kayu/bambu di dalam mi goreng yang saya pesan. Saya ajukan komplain, kok ada ada ini di dalam makanan saya? Dan tanpa perlu adu argumentasi, permasalahan langsung terselesaikan. Setelah meminta maaf, manajer restoran menawari saya: mau dimasakkin mi baru atau free? Saya pilih free. Oke, masalah selesai.

Komplain berikutnya saya ajukan saat memesan tiket di salah satu situs perjalanan. Oke kita sebut aja Traveloka (Karena fotonya saya pasang). Sebetulnya, saya sering memesan tiket (baik hotel maupun pesawat terbang) lewat Internet dan selama ini lancar-lancar saja. Tapi tidak demikian halnya yang terjadi pada Jumat (12/8) kemarin. Sewaktu memesan tiket pesawat dan melakukan pembayaran melalui kartu kredit, failed. Just like the other customer, sebagai pemilik kartu kredit ketika menemui kegagalan pembayaran, otomatis yang terbayang di kepala adalah “Hadhuh bagaimana kalo nanti tertagih di CC ya?” Begitu pula yang saya rasakan. Saya langsung menghubungi petugas customer service (CS) Traveloka. Prosedurnya sama seperti kita ditelepon atau menelpon, petugas CS menginformasikan percakapan kami direkam. Oke, baiklah. Saya sampaikan permasalahan saya. Si Mbak CS dengan ramah dan tulus (kedengaran dari suaranya, semoga beneran tulus) membantu saya. Surprisingly, mereka punya record transaksi saya. Si Mbak CS memastikan tak akan tertagih di rekening saya. Dan, nah… inilah yang baru saya temukan: di akhir percakapan, dia menanyai alamat email saya dan berjanji mengirimkan pernyataan tertulis tentang kegagalan transaksi tersebut! Bingo!

Saya langsung bersorak. Horeee!

Anda tahu kenapa?

Karena, sebetulnya pada umumnya kita sebagai konsumen sudah merasa puas dengan percakapan di telepon yang memastikan bahwa tidak akan tertagih di rekening dan bla..bla bla itu. Tapi tahukah Anda sebetulnya janji spt itu lemah banget, terutama jika posisi Anda sebagai konsumen (yang berpotensi dirugikan). Bayangkan jika di tagihan kartu kredit Anda muncul tagihan, Anda hendak komplain ke bank penerbit kartu kredit, modal Anda hanyalah “Kemarin saya telepon petugas CS dan dijanjikan tidak akan ada tagihan..” bisakah pihak bank percaya terhadap modal Anda tersebut? Tidak. Jadinya malah akan terjadi debat kusir. Si penerbit kartu kredit pasti akan bilang “Faktanya di kami tercatat ibu melakukan transaksi di sini…bla..bla..bla”. Lalu, Anda kirim surat pembaca, lagi-lagi hanya bermodalkan janji manis si petugas CS di telepon… lalu apa? Posisi anda lemah.

Lain halnya bila kita sebagai konsumen punya bukti pernyataan tertulis seperti yang dilakukan Traveloka ini. Ketika kita hendak mengajukan komplain ke bank penerbit kartu kredit, setidaknya posisi kita lumayan kuat karena kita punya bukti tertulis bahwa terjadi masalah saat transaksi sehingga dibatalkan dan tidak terjadi transaksi.

Sejujurnya, baru kali ini saya mendapat perlakuan seprofesional ini dari sebuah perusahaan. Mungkin baru kali ini saya tahu karena selama ini baik-baik saja, mungkin sebetulnya layanan seperti ini sudah ada sejak dulu…entahlah… yang jelas saya menganggap model penyelesaian komplain seperti yang dilakukan Traveloka ini patut diacungi jempol.

Pengajuan dan penanganan komplain memang terasa lebih mudah jika kita bisa bertemu langsung, face to face, dengan si manajer seperti yang terjadi pada kasus saya di restoran. Enak, kita bisa melakukan bargaining dan langsung terselesaikan detik itu juga. Namun bagaimana jika konsumen dan perusahaan berada di zona waktu dan geografis yang berbeda? Tentu penyampaian dan penyelesaian komplain hanyalah lewat telepon ataupun email. Konsumen tak bisa seketika itu juga mendapatkan apa yang dia mau. Paling-paling dia hanya dapat janji manis by phone “Masalah akan kami tangani.” Dalam metode ini, seringkali posisi konsumen berada di pihak yang lemah. Ketika kita menyampaikan komplain lewat telepon, biasanya percakapan dua arah itu direkam oleh si petugas CS. Tapi saya yakin hanya sekian persen dari kita yang merekam juga percakapan kita dengan si petugas CS (sebagian besar pasti lupa merekam). Betul? Kadang kita hanya mengingat nama si petugas aja (bahkan sering lupa karena kita hanya terfokus kepada masalah kita berikut solusinya). Kadang-kadang cukup sampai di situ saja, kita sudah merasa puas. Benar? Padahal bila dipikir lebih lanjut sebetulnya model penyelesaian seperti itu masih lemah.

Sebetulnya ada sejumlah strategi menangani komplain. Salah satunya dikenalkan oleh Robert Bacal penulis If It Wasn’t for The Customers I’d Really Like This Job. Bacal punya strategi CARP Diem (mirip carpe diem yaah?), bedanya ini merupakan kepanjangan dari Control, Acknowledge, Refocus, dan Problem Solving. Namun perubahan zaman dan kemajuan teknologi, menuntut perusahaan untuk terus berinovasi dalam hal penyelesaian komplain. Perlu terobosan-terobosan baru dalam penyelesaian komplain agar benar-benar menghasilkan win win solution. Konsumen tak hanya mendapat penyelesaian atas masalah yang dia hadapi, melainkan konsumen juga berada di posisi yang kuat. Penyelesaian komplain haruslah meminimalkan munculnya masalah baru dalam kehidupan konsumen.

Saya kira penyelesaian komplain seperti yang dilakukan Traveloka ini patut diacungi jempol. Meski pun sebetulnya sebagai konsumen saya sudah puas dengan kalimat si Mbak CS di telepon,”Tidak akan kami tagih karena tak ada transaksi.”, namun dengan adanya pernyataan tertulis dari Traveloka ini saya jadi dobel puas. Penyelesaian seperti ini meminimalkan munculnya masalah baru. Meski sejujurnya saya belum mengecek ke bank penerbit kartu kredit saya, tapi dengan mengantungi surat pernyataan ini, setidaknya saya sudah nyicil ayem dulu… saya punya bukti kuat.

Begitulah. Semoga semakin banyak perusahaan memiliki terobosan-terobosan baru dalam menghadapi dan menyelesaikan komplain dari konsumen.

Apakah tulisan ini membantu ?

Astrid Prihatini Wisnu Dewi

i love travelling sooo much!

View all posts

Add comment