Soloensis

Mas Kondektur yang Cakep dan Baik Hati

Waktu itu adalah awal bulan April 2010 yang terik. Setelah menginap semalam di Ho Chi Minh City, kami bertiga (saya dan dua teman dari Solo) pagi-pagi banget langsung mengemasi ransel kami dan bergegas mengejar bus ke…KAMBOJA! Untuk tiket pesawat Jakarta-Ho Chi Minh City pulang pergi Rp600.000, sedangkan penginapan di Ho Chi Minh City seharga USD6 per malam (fasilitas kamar mandi dalam, kamar supeeeer luas, hot/cold shower dan breakfast). Di Phnom Penh dan Siem Reap harga penginapan lbih murah yaitu USD3.

Waktu itu, perjalanan nekat-nekatan ala backpacker masih belum begitu populer di negeri ini (apalagi di Solo). Saya ingat betul, waktu kami mendarat di Bandara Internasional Tan So Nhat di Ho Chi Minh City, kami bertemu pasangan suami istri dari Surabaya. Kami bertiga sempat ngobrol selepas pemeriksaan imigrasi. Mereka bertanya kami dari mana dan hendak kemana. Kami jawab apa adanya bahwa kami hendak ke Kamboja. Kemudian mereka bertanya,”Kalian punya saudara atau teman atau setidaknya kenalan di sana?”

Dan dengan lugunya kami menjawab,”Tidak ada!”

Sorot keterkejutan terlihat di kedua mata pasutri asal Surabaya tersebut. “Wow, serius? Kalian nekat sekali pergi ke Vietnam dan Kamboja sementara kalian tak punya siapa-siapa yang bisa diandalkan di sana!”

Yah begitulah. Kami memang nekat. Mungkin, Vietnam dan Kamboja memiliki imej yang kurang bersahabat terhadap wisatawan. Mungkin. Kami tidak tahu. Tapi kami benar-benar tak punya pikiran takut, khawatir atau waswas atau something like that. Dan…terbukti, kami baik-baik aja tuh! In fact kami malah bertemu orang-orang yang ramah-ramah, baik-baik, dan superpenolong. Serius!

Salah satunya adalah si mas kondektur ini. Namanya siapa? Ah namanya sulit diingat, habis dia pakai nama lokal Kamboja sih. Coba dia pakai nama yang lebih mengglobal seperti Michael atau Daniel begitu, kami pasti inget terus. Betul?

Kami bertemu dengannya di bus antar kota antar negara (AKAN). Iya, beneran. Bus yang kami tumpangi memang menembus batas negara. Namanya bukan lagi bus antar kota antar provinsi (AKAP) seperti di sini. Untuk menuju Kamboja, kebetulan tujuan utama kami adalah Siem Reap, kami terlebih dahulu harus berkendara naik bus ke Phnom Penh (Ibu Kota Kamboja) selama 6 jam. Kemudian, dari Phnom Penh kami harus naik bus lagi ke Siem Reap selama kurang lebih 6 jam. Penampakan busnya mirip-mirip bus bumel di sini (yah mungkin kami salah memilih bus, karena sekarang stlh lebih banyak backpacker yang nulis di blog saya jadi tahu ternyata ada juga bus ber-AC hehe). Penumpangnya kebanyakan warga lokal dengan aneka barang bawaan antara lain hasil bumi dan….ayam!

Kami membeli tiket terusan dari Sorya Trans. Awalnya, saya sempat ketir-ketir juga liat penampakan bus yang tidak meyakinkan gitu. Bukan perkara keselamatan kami yang saya khawatirkan, melainkan karena salah satu rekan seperjalanan kami punya penyakit mabuk darat bila naik bus jelek bin embyeh-embyeh seperti itu hehehe. Ternyata, kekhawatiran kami tak terbukti. Mungkin berkat kehadiran si mas kondektur yang cakep atau mungkin dia sangat menikmati petualangan naek bus AKAN itu tadi. Eaaaa….!

Penilaian buruk kami terhadap bus tersebut langsung runtuh begitu melihat si mas kondektur (Baiklah kita sebut aja Michael agar mudah diinget). Si Michael ini berpenampilan rapi jali (bedaaaa banget ama penampilan kondektur-kondektur bus di Indonesia, bahkan bus ber-AC pun tidak ada yang tampil serapi dia). Dia mengenakan kemeja putih dan celana kain hitam, kemeja dimasukkin ke celana. Rambut dipotong rapi. Dan kami makin terkejut ketika tahu dia tak hanya bertugas memeriksa karcis penumpang, melainkan dia juga menjadi semacam tour guide di bus terusan Ho Chi Minh City-Phnom Penh-Siem Reap itu. Sebelum bus berangkat, dengan pengeras suara dan bahasa Inggris (yang kental logal lokal) dia ngejelasin bahwa bus nanti akan berhenti di check point Moc Bai, semua penumpang harus turun untuk pemeriksaan paspor.

Ketika pemeriksaan tiket jatuh ke kursi kami, si Michael langsung tahu kami bukan warga lokal. Ya iyalah, lha wong saingan kami di bus itu adalah ibu-ibu berpenampilan ala mbokdhe-mbokdhe gitu atau pria-pria berbusana sederhana membawa hasil bumi. “Where do you come from?” dia bertanya ke saya.

“INdonesia!” kami menjawab penuh semangat.

“Indonesia? Dimana itu?”

Wah ini…agak susah ngejelasinnya. Lalu, saya teringat sebuah nama yang jauh lebih mendunia dibandingin Indonesia, BALI! Saya bilang kamu tahu Bali? Dan si Mas Michael langsung nangkel. “OOOOh I SEE!” Tuuh kan! Bali memang lebih terkenal kok hehehe…

Surprisingly, seperti pasutri yang kami temui di Tan So Nhat ketika kami malam-malam mendarat di Ho Chi Minh, dia bertanya lagi,”Apakah kamu punya sodara atau teman di Siem Reap?”

Kami menjawab jujur : Tidak ada.

“Tapi kalian sudah punya hotel untuk ditinggali bukan? Soalnya bus sampai di Siem Reap sudah malam banget!” dia bilang lagi, kali ini dengan kekhawatiran yang tak dapat dia sembunyikan.
“Yes off course. Kami sudah memesan hotel via online!” jawab saya sambil menunjukkan bukti booking ke dia.

Lalu dia nanya lagi,”Kalian punya penjemput di sana?”

“Saya pikir pihak hotel pasti menjemput!” jawab saya asal. Sumpah, kami benar-benar tak punya bayangan seperti apa Siem Reap, seperti apa terminal perhentian bus kami, dsb.

“Belum tentu, tidak semua hotel menyediakan jemputan!” jawab dia.

Mampus! Kali ini kami betul-betul dibuat kliyengan.

“Baiklah, kalo kamu belum punya penjemput, saya bantu. Saya punya teman di Siem Reap yang bisa jemput dan antar kalian ke hotel kalian ini!” ujarnya.

Ooooh… mendengar kalimatnya itu, hati kami langsung meleleh dan pingin banget tereak,”OOOH You are soooo SWEET!” hahaha…

What next? Si Miachel sibuk nelpun lalu menuliskan nama temannya berikut nomor HP temannya itu di secarik kertas (sekali pun saya juga agak ga yakin bisa tidak menelpon temannya si Michael itu karena saya masih pakai nomor Indonesia! Gubrak!). But he is so sweet, isnt it? Mau-maunya dia memastikan kami aman dan selamat sampai ke tujuan. Padahal, asal tau aja, satu baris di depan kami ada mbak-mbak Jepang, tapi si Michael tak memberikan pelayanan serupa ke dia! Kok bisa?

Kebaikan si Michael tak berhenti sampai di situ. Saat bus melaju, kami melihat ada seorang ibu-ibu asyik ngemil makanan unik. Bentuknya seperti spon mandi berwarna hijau, dia cungkili satu persatu biji di situ. Kami yang belum pernah melihat sontak bertanya ke si Michael. “Buah apakah itu?”

Lalu dia ngejelasin bahwa itu adalah bunga lotus (yang kelopaknya telah diambil) dan ibu itu makan biji lotus. Menurut dia rasanya enak. Dan tanpa kami minta, si Michael meminta bunga lotus itu dari si ibu dan membiarkan kami mencicipinya. “Silakan. Bagaimana rasanya?” tanya si Michael.

Well, sebetulnya rasanya agak aneh sih menurut saya.. agak sepat-sepat gimana gitu. Tapi, yah, mungkin karena kami takut menyakiti perasaan orang-orang ini, kami menjawab,”Enak!” Dan efeknya? Alamaaaak…si ibu itu justru memberi kami masing-masing satu bunga lotus! Mampus! Kami tidak mungkin membuangnya kan? Terpaksalah sepanjang jalan kami ngemil bunga lotus tersebut (white lies ternyata tak selalu berbuah manis hahaha! Mungkin sebaiknya kami bilang tidak doyan aja kali yaaa?). Dan ternyata makanan itu cukup familier di sana. Saat bus berhenti, banyak pedagang asongan menjajakan bunga lotus itu di jendela bus (yah mirip pedagang asongan di kita yang menjajakan kacang rebus gitu).

Singkat cerita ketika sampai di Siem Reap, hari benar-benar telah larut dan sepi. Tak ada kendaraan umum sama sekali. Di situlah kami baru menyadari betapa si Michael itu ada benarnya dan betapa beruntungnya kami ditolong olehnya. Dia mempertemukan kami dengan temannya yang membawa kendaraan semacam tuk tuk. Belakangan kami tahu ternyata pihak hotel menyediakan fasilitas penjemputan, kami melihat nama Astrid from INdonesia dibawa seorang bapak-bapak di depan sebuah tuk tuk. Waduh! Jadi berasa kayak artis karena ada dua penjemput nih! Kami lalu berembug dengan si Michael. Akhirnya, kami putuskan memberikan tuk tuk pemberian Michael kepada rombongan turis Jepang (yang ternyata tak mendapat fasilitas penjemputan dari hotel). Dan tentu saja tak lupa kami mengucapkan berjuta-juta maaf dan terima kasih ke si Michael…. karena kami tidak jadi memakai jasa baiknya.

Waktu pulang dari Siem Reap, waktu menunggu bus di perhentian bus, kami bertiga mendapati diri kami berharap-harap ketemu Michael lagi mengingat kami naik bus dari PO yang sama. Namun, harapan kami berguguran seperti daun-daun kering manakala naik ke bus dan tak menjumpai MIchael di situ. Ya sudahlah. Semoga suatu saat nanti bisa bertemu lagi. Semoga Tuhan membalas kebaikannya berlipat-lipat. Di Phnom Penh lagi-lagi kami bertemua manusia baik hati sekali pun berasal dari ras dan belahan dunia berbeda. Kali ini orang bule. Bersamanya, kami menikmati jalan-jalan malam dan jajanan khas Phnom Penh. Ini membuktikan masih ada berjuta-juta manusia baik hati di luar sana. Benar? Jadi, jangan takut bepergian keliling dunia sekali pun tak punya kenalan atau kerabat di negara yang dikunjungi! Yakin aja, di luar sana ada berjuta-juta manusia baik hati yang siap menolong atau sekadar jadi teman perjalanan yang menyenangkan 🙂

(Courtessy : Astrid, astridpwd@gmail.com)

Apakah tulisan ini membantu ?

Astrid Prihatini Wisnu Dewi

i love travelling sooo much!

View all posts

Add comment