Soloensis

Charger HP Ketinggalan? Itu Bukan Kiamat

Seorang teman tergopoh-gopoh duduk di ruang rapat sore itu. Dia datang agak terlambat. Rapat sudah berjalan sekitar 10 menit lewat. Begitu duduk di kursi, dia membuka smartphone. Tapi sial, smartphonenya mendadak mati. Baterai habis rupanya. Kotak kecil bernama powerbank lupa pula dia bawa. Lengkap sudah “penderitaan”, begitu mungkin batinnya. Apa kata dunia jika smartphone mati? Bagaimana bisa memantau beragam update jika peranti cerdas itu tak bisa dinyalakan?

Tak kurang akal, bergegas dia keluar ruangan. Menuju ruang terdekat dari ruang rapat. Sejurus kemudian, dia datang lagi. Kali ini menenteng charger smartphone. Lekas dia colokkan charger ke bawah meja, dan ditancapkan pula ke HPnya. Kebetulan di bawah meja memang dipasangi colokan listrik untuk mengisi ulang baterai HP maupun laptop. Lega rasanya.

Anda pernah mengalami hal serupa? Senewen karena smartphone mati di saat yang tidak tepat? Sudah begitu, lupa pula tak membawa charger atau powerbank? Ihhh, pasti kesal deh rasanya. Seolah-olah dunia berhenti berputar. Seolah-olah kita jadi makhluk yang bakal paling tidak update dengan perkembangan zaman. Dunia yang ada dalam “genggaman” lewat smartphone, tiba-tiba lenyap hanya gara-gara beterai habis.

Dalam kehidupan serbamodern seperti sekarang ini, smartphone memang jadi barang primer yang ada di urutan teratas yang wajib kita bawa. Berturut-turut di bawahnya adalah charger dan powerbank, hehe. Smartphone aktif 24 jam penuh, untuk memantau berbagai perkembangan. Mulai soal pekerjaan, bersosialisasi, maupun sarana eksistensi diri.

Saya juga seorang pengguna smartphone, dan memang banyak terbantu dalam menyelesaikan pekerjaan. Berkirim dan menerima email utamanya. Selain itu, juga dipakai untuk sarana berkomunikasi dan berkoordinasi dengan partner kerja. Nilai positif smartphone tak terbantahkan. Banyak manfaatnya.

Hanya kadang, disadari atau tidak, kita terlalu berlebihan dalam menggunakannya. Mari kita bertanya pada diri kita masing-masing, jika ditotal berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk menggunakan smartphone dalam sehari? Lalu dari waktu itu, persentase terbesar kita pakai untuk apa? Untuk bekerja/menunjang pekerjaan, bersosialisasi, atau eksistensi diri?

Tak hanya itu. Generasi menunduk (mereka yang terlalu sering menggunakan smartphone sehingga abai dengan lingkungan sekitar), juga bertambah. Smartphone ternyata juga bikin kecanduan. Bisa bikin sakaw bagi mereka yang sudah addict. Semenit tak buka HP bisa jadi bikin tak keruan. Sejam tidak update status rasanya hidup ada yang kurang. Nah lo, kalau sudah begitu, apa yang harus kita lakuin?

Teknologi pada dasarnya diciptakan untuk memudahkan manusia mencapai tujuannya. Memudahkan kerja-kerja kita. Dan itu sekali lagi, tidak terbantahkan. Sayangnya, terkadang kita justru seperti “dikendalikan” oleh teknologi, bukan sebaliknya. Ya seperti penggunaan smartphone itu misalnya. Come on, ketinggalan charger HP bukan kiamat hlo. Kadang justru bisa menjadi “kebebasan” buat kita.

Saya pernah iseng bertanya kepada sejumlah remaja, anak SMA soal ini. Pilih berlibur sepekan tanpa gadget, atau tidak berlibur tapi tidak terpisah dengan gadget? Mau tahu apa jawabnya? Rata-rata mereka milih enggak liburan asal tetep bisa bawa gadget. Hiyaaaa…..

Ada anak SMA yang bercerita seperti ini, tentang nonton konser musik. Sang artis, yang kebetulan memang idola remaja, meminta penontonnya untuk mematikan atau memasukkan gadget mereka ke saku. “Aku pengen kalian lepas sama gadget dan nikmatin apa yang kita kasih ke kalian,” demikian kata si artis seperti dituturkan anak SMA ini. sang anak SMA ini pun berpikir. “Betul juga, kapan lagi ada kesempatan nyanyi bareng idola, teriak-teriak, dan kasih perhatian kalo kita emang suka dengan aksinya? Gak perlu ribut selfie atau jepret-jepret, atau ngerekam video, yang justru bikin kita enggak fokus nonton konsernya enggak focus menikmati tiap detik suara mereka di telingamu, mata kamu tangkap, dan otak kamu rekam.”

Saya setuju dengan anak muda ini. setuju banget. Terkadang memang kita justru sibuk menggunakan smartphone untuk mengabadikan sesuatu, tapi melupakan urgensi yang paling nyata, fakta itu sendiri yang bisa kita rasakan, kita hirup aromanya, kita nikmati kesegarannya, dan sebagainya.

Contoh, anak kita sedang pentas di panggung. Sebagai orang tua, pasti bangga dong anak pentas. Nah giliran tampil, kita merangsek ke depan, jeprat-jepret aksinya (kadang menutupi dan mengganggu penonton di belakangnya), direkam, dsb. Tapi kita lupa satu hal. Kita tidak menikmati aksi anak kita dengan focus, dengan tenang sejak awal hingga akhir. Kita sibuk merekam dan baru bisa menyaksikannya secara utuh di video yang kita bikin. Aneh rasanya. Mengapa kita justru memilih melihat dari video secara utuh, ketimbang menyaksikan langsung aksi anak tercinta kita beraksi di panggung. Secanggih-canggihnya teknologi, tetap tidak bisa mengalahkan yang riil ada. Yang bisa dicecap dengan seluruh pancaindera kita.

Yonantha Chandra

Apakah tulisan ini membantu ?

Add comment