Soloensis

Suka Duka Bersama SOLO POS

Arif Saifudin Yudistira*)

            Ingatanku tentang Koran SOLO POS dimulai ketika aku masuk kuliah pertama kali di tahun 2006. Setelah lulus SMA, aku melanjutkan kuliah di UMS. Di kampus inilah aku mulai mengenali Koran SOLO POS. Semula aku mendapati Koran ini tercecer di ruang kantor mahasiswa di salah satu UKM di kampus ini. Aku pun menekuri Koran ini, pelan-pelan aku memperoleh informasi dan berbagai ilmu terutama tentang Koran dari sini. Aku pun mulai membaca rubrik GAGASAN yang biasanya diisi tak hanya dari kalangan dosen, peneliti, ilmuwan ,dan sebagainya.

            Kemudian aku mulai mengenali ada rubrik yang menurutku bisa aku kirimi tulisan. Rubrik itu adalah rubrik Ah tenane, Rubrik Mimbar Mahasiswa, Rubrik CURHAT. Di rubrik curhat inilah aku mencoba keberuntungan. Waktu itu adik saya masih kuliah di bandung, kebetulan ia lagi libur. Dan saat ia libur itulah aku ajak ia untuk menengok Koran barangkali tulisan yang aku kirim dimuat. Betapa sedihnya aku ketika melihat kesana kemari sepertinya tulisanku tak dimuat, adikku berteriak “ Wah mas, ini fotomu, tulisanmu dimuat mas”?. Tulisan pendek itu berjudul “Demo mengapa tidak”, tulisan berisi tanggapan tatkala menanggapi bagaimana SPP naik tanpa penjelasan. Aku ungkapkan argumenku disana. Semenjak itulah aku mengenali cara berargumen di Koran.

            Di semester tiga aku pun mengenali rubrik “Bahasa Kita”. Melalui rubric ini, aku mulai berangan-angan kembali tulisanku muncul di rubric ini. Rubrik ini hadir di setiap hari kamis. Aku mulai mengamati dan menyusun-nyusun apa yang ada di Koran SOLO POS di setiap minggunya.  Di hari minggu rubrik jeda, ada halaman sastra ada puisi, cerpen, sampai resensi buku. Tetapi terkadang rubric ini diisi full oleh foto kiriman dari pembaca.

            Di hari senin, aku mengenali rubrik GAGASAN yang ditulis redaktur, atau jurnalis SOLO POS dan juga dari penulis umum. Hari selasa waktunya untuk mahasiswa mengeluarkan gagasannya di MIMBAR MAHASISWA. Di hari rabu diisi gagasan seperti biasa, hari kamis rubrik BAHASA KITA hadir disana, dan muncul pula rubrik JAGAD JAWA. Di hari jumat selain ada rubrik gagasan, ada pula rubrik khazanah, dan di hari sabtu ada rubrik DIDAKTIKA

            Semua rubrik itu aku kenali ada yang muncul (baru) ada yang lama pula. Seperti kolom DIDAKTIKA aku kenali ketika aku sudah lulus dan mengajar sebagai guru. Kebetulan aku rajin mengkliping tulisan-tulisan yang pernah dimuat di Koran ini. Melalui Koran ini pula aku kemudian diundang oleh adek-adek pers fakultas yakni UKM FIGUR. Melalui UKM ini aku gunakan KORAN SOLO POS sebagai media pembelajaran untuk mengenal rubric dan berbagai isu seputar kedaerahan dan nasional yang ditampilkan SOLO POS. Aku mulai belajar mengenai bahasa dan karakteristik media melalui tajuk rencana yang tampil setiap harinya.

            Di SOLO POS ini pula kenangan tentang literasi hadir bersama Koran ini. Dulu, aku menulis dengan cara kuno, aku ketik dan kirim lewat amplop besar. Ku kirim dengan berkunjung ke koran ini. Sembari terus membaca, aku pun berdebar-debar tatkala tulisan demi tulisan muncul di koran ini. Melalui koran ini aku pun kemudian kenal dengan komunitas sastra pawon. Kenal dengan teman-teman literasi yang ada di Solo.

            Di tahun 2007, aku mulai belajar bersama teman-teman BILIK LITERASI. Aku belajar dengan mas Bandung Mawardi. Melalui mas Bandung Mawardi ini pula aku semakin kerap dimuat di koran ini. Aku rutin mengirim di rubric mimbar mahasiswa, mengirim di rubric gagasan dan rubric BAHASA KITA. Aku senang tatkala tulisanku muncul di rubric BAHASA KITA dulu aku menulis tentang bahasa iklan dan mengirim tentang bahasa yang dipakai Gus Dur yang sering mengucapkan “gitu aja kok repot”.

            Semasa mahasiswa, ketika BBM naik di masa SBY aku berdemonstrasi di balai kota. Aku ikut menekuni tema-tema neo liberalisme. Kenaikan BBM aku nilai sebagai hal yang tak wajar. Koran SOLO POS pun ikut memberitakan itu, maka setelah demonstrasi aku menulis di MIMBAR MAHASISWA : “ Sumber Daya Alam kita milik Siapa?”. Tulisan ini muncul di jaman SBY di tahun 2009.

            Kenangan bersama SOLO POS pun berlanjut. Aku melihat pelatihan jurnalistik di tahun 2010. Di tahun itu aku mengenali bagaimana cara menulis dari para redaktur SOLO POS. Aku juga mendapati pengenalan ulang tentang rubric yang ada di SOLO POS. Aku dipersilahkan untuk mengirim tulisan kesana. Dulu aku sering mengirim dan mengkliping setidaknya dua puluh lima tulisan pernah dimuat disana. Tapi setelah itu aku malas menghitung lagi berapa tulisan yang pernah dimuat di koran ini.

            Di ulangtahunku yang ke-26, aku menulis esai persembahan untuk semua, esai kecil ini berjudul “kelahiran” bersama esai ini aku alamatkan kepada SOLO POS pula. Dalam waktu-waktu yang panjang bersama SOLO POS aku mendapatkan honor dari tulisan-tulisanku. Honor bisa kugunakan untuk membeli buku, untuk makan dan keperluan hidupku. Setidaknya dalam hidupku, SOLO POS ikut memberi rasa kebahagiaan sebagai pembaca dan penulis di dalamnya. Aku ikut bahagia tatkala diundang bersama penulis SOLO POS lainnya. Disana aku seperti diajak untuk berembug, bukan lagi dalam hubungan antara pembaca dan koran, tetapi lebih dari itu, aku seperti merasakan ada ikatan keluarga antara aku dan SOLO POS.

Pemuatan Ganda dan absen tulisan

            Di tahun 2012, setelah lama sekali tulisanku tak keluar di koran ini, aku masih setia membaca dan membeli koran ini. Ada perasaan geram, tetapi hanya sesekali ketika ingat temanku sesame penulis yang mengalami nasib serupa. Budiawan pun merasakan sama seperti yang kurasakan tatkala mengirim puisi berkali-kali dan yang dimuat hanya beberapa saja. Cerita itu membuatku semakin mengerti, menulis memerlukan etos.

            Akhirnya tulisanku bertajuk “ Berpolitik adalah Beriklan” dimuat ganda di tahun 2012. Tulisan itu semula kukirim di SOLO POS, seminggu lebih aku tak sabar menanti, hampir dua minggu kurang sehari, kukirim tulisanku di Joglosemar. Tulisan pun dimuat di Joglosemar dan beruntun dua hari berikutnya muncul di SOLO POS. Aku merasa menyesal,karena keteledoranku inilah, hampir setengah tahun tulisanku absen, meski aku rajin mengirim.

            Maka setelah itu, aku menyapa kembali SOLO POS melalui rubric resensi di tiap minggunya. Aku mengirim resensi kesana, di tahun 2013, resensiku pun dimuat disana. Maka kubeli buku-buku baru, kubaca dan kuresensi disana. Semakin aku rajin membaca, resensiku pun semakin rutin dimuat. Aku merasa senang, dan semenjak tahun itu aku mulai membuat blog doeniaboekoe.blogspot.com. Blog kuisi pengalaman membaca buku-buku yang ikut bersamaku, dan kutautkan dengan peristiwa berliterasi bersama buku. Pelan-pelan tulisan di blogku pun mencapai seratusan lebih, aku turut senang sembari membagikan tulisan di blogku bagi para pembaca yang ingin membaca tulisanku. Aku bagi melalui twitter, fb, dan media sosial lainnya.

            Aku tak merasa sedih, apalagi kecewa lagi, aku memerlukan pembaca. Melalui SOLO POS itulah, aku bisa menemukan pembacaku aku yakini ikut mengikuti tulisan-tulisanku. Dari tulisan dan resensiku itu pula aku mendapatkan buku-buku baru lagi dan mendapatkan honor.

            Aku bersyukur rubric-rubrik di SOLO POS bertahan cukup lama, dan isi dari koran ini pun semakin berbobot. Tak hanya urusan lokalitas yang diangkat dan dibicarakan, tema-tema sensitive pun sempat mencuat dan menampar beberapa pihak. Seperti kampusku, koran ini pernah memuat headline tentang kos- esek-esek yang diduga sebagai tempat transaksi dan tempat para ayam-ayam kampus berkeliaran.

            Dari sinilah aku melihat koran ini tak hanya berani dalam mengangkat suatu peristiwa, tetapi membuat masyarakat bergerak bersama. Seiring di usianya yang sudah 18 ahun, aku menjadi bagian dari pembaca SOLO POS bersama pembaca lainnya. Membaca dan menulis di koran ini merupakan kebahagiaan tersendiri, bersama koran ini aku pun yakin kelak bisa tumbuh dan berdinamika bersama.

            Jargon “Meningkatkan Dinamika Masyarakat” memang tepat. Bersama koran ini, tak hanya isu pilkada, isu perkotaan, dan isu kebangsaan di bahas disana. Melalui koran ini pula, waktu-waktu tak bisa terlampaui begitu saja. Dokumentasi dan jejak karyaku ada di koran ini, bersama koran ini pula aku ikut menyuarakan apa yang ada dalam pikiran, sikap dan tindakanku. Dari itulah, aku merasakan ada hubungan yang melampaui antara penulis dan pembaca. Melalui koran ini, aku dipertemukan dengan peristiwa, kejadian dan orang-orang yang tak pernah aku duga sebelumnya. Begitu.

*) Penulis adalah Alumnus UMS, Pengasuh MIM PK Kartasura, Pegiat BILIK LITERASI SOLO

Apakah tulisan ini membantu ?

arif_love_cinta

Add comment

Topic