Soloensis

Belajar toleransi agama dari rakyat Mataram Kuno

Kasus intoleransi agama di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa ini. SETARA Institute mencatat sepanjang tahun 2015 saja telah terjadi 1.600 kasus intoleransi dan 316 diantaranya berujung perusakan rumah ibadah seperti yang terjadi di Tolikara Papua dan Singkil Aceh.
Anehnya, kasus intoleransi terus saja terjadi berulang dari waktu ke waktu. Masing-masing pihak baik pelaku maupun korban (seperti biasa) selalu mencari dalil pembenar dan maunya menang sendiri.
Lalu apa sebenarnya yang salah dalam keberagamaan kita? Mengapa tidak belajar dari kerukunan para leluhur di masa lalu?
Mari sejenak kita buka catatan sejarah. Lebih dari seribu tahun lalu umat Hindu dan Buddha di Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah sudah hidup rukun berdampingan dan mengalami puncak momentumnya ketika dipimpin oleh Maharaja Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya (Hindu) yang menikah dengan Dyah Ayu Pramodhawardhani dari Dinasti Syailendra (Buddha).
Meski sejatinya pernikahan mereka bertujuan untuk kepentingan politik yakni mempersatukan kedua dinasti kerajaan yang telah lama bertikai. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa pernikahan tersebut sekaligus menjadi simbol untuk mempertegas sikap toleransi keagamaan rakyat Mataram Kuno.
Mereka membangun banyak rumah ibadah (candi). Yang terbesar dan terindah sebagai masterpiece-nya adalah Candi Prambanan (Hindu) dan Candi Borobudur (Buddha). Pembangunan Candi Prambanan juga melibatkan peran umat Buddha, sementara pembangunan Candi Borobudur dibantu oleh umat Hindu.
Uniknya, meski Candi Borobudur adalah situs Buddha namun dikelilingi oleh candi-candi Hindu (Selogriyo, Gunung Wukir, Gunung Sari, Sengi). Hal sebaliknya, Candi Prambanan yang Hindu dikelilingi oleh candi-candi Buddha (Sewu, Kalasan, Sojiwan). Bahkan Candi Plaosan bercorak Hindu sekaligus Buddha.
Gugusan unik candi-candi tersebut seolah dirancang membentuk pola tertentu yang menggambarkan kehidupan dua agama yang selaras di masa itu.
Mahakarya Rakai Pikatan dan Dyah Ayu Pramodhawardhani tersebut telah menjadi warisan budaya kebanggaan Indonesia yang diakui dunia. Candi-candi yang megah itu menjadi simbol pemersatu politik dan simbol kerukunan agama.
Mengapa jaman dulu candi (rumah ibadah) mudah dibangun di lokasi berdekatan meski berbeda agama?
Jawaban saya, mungkin karna dulu belum ada IMB dan SKB Dua Menteri. Raja dan Ratu cukup woro-woro kasih komando ke rakyat supaya tetap menjaga kerukunan selama pembangunan. Beres.
Lain dulu lain pula jaman sekarang. Saat ini pembangunan rumah ibadah sering terkendala aturan yang ketat dan aneh-aneh. SKB Dua Menteri No. 8 dan 9 Tahun 2006 oleh sebagian masyarakat dianggap masih diskriminatif bagi agama minoritas. Oleh sebab itu, beberapa kelompok masyarakat sepakat meminta pemerintah untuk meninjau kembali.
Undang-undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum tertinggi telah menjamin kemerdekaan tiap warga negara untuk menganut agama dan beribadah menurut agamanya masing-masing. Apabila ditemukan peraturan di bawahnya yang saling bertentangan maka harus merujuk kembali kepada UUD 45.
Tugas pemerintah adalah mengayomi dan membina seluruh warga negara dalam hal kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut agamanya. Sinergi pemerintah dan masyarakat akan membawa kepada pemahaman yang baik tentang keberagamaan kita. Sinergi tersebut juga harus bisa memadamkan titik api konflik sekecil apapun. Sehingga toleransi dan kerukunan masyarakat tetap terjaga.
Semoga kisah rakyat Mataram Kuno tersebut bisa menginspirasi dan memberi hikmah bagi kita semua.

Apakah tulisan ini membantu ?

jsusila

Peminat bidang sosial budaya. Lahir di Klaten 29 Mei

View all posts

Add comment