Soloensis

Rabun…

Judul esai saya ini saya adopsi dari terminologi Profesor Theodore Levitt tentang marketing myopia atau rabun jauh pemasaran. Levitt menuangkan gagasannya itu dalam artikel yang dimuat di Jurnal Harvard Business Review pada 1960.

Dalam literatur pemasaran, marketing myopia sejatinya menunjuk pada ketidakmampuan seorang pemasar dalam memandang masa depan produk yang dikelolanya. Pemasar yang rabun hanya fokus pada produk yang dikelola saat ini serta mengabaikan perubahan perilaku konsumen pada masa mendatang.

Bisa dipastikan pemasar yang rabun tak akan bertahan lama karena tidak bisa menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang sangat cepat. Terus terang saya sangat tergelitik dengan konsep ini.
Istilah ”rabun” itu begitu sarat sindiran, ngenyek, menohok siapa pun yang berpikiran cupet. Ini tidak hanya menyindir para manajer yang takut menatap masa depan, tapi siapa pun yang sibuk dengan urusan jangka pendek yang nir-visi.

Termasuk di dalamnya adalah orang-orang yang selalu meributkan hal-hal sepele serta mengabaikan persoalan strategis bagi masa depan hidup manusia. Bukankah kita begitu mudah menemukan model orang seperti ini? Contohnya adalah orang yang selalu ribut mengedepankan kepentingan diri dan kelompoknya.
Orang-orang pragmatis yang menilai sesuatu bukan atas dasar kebenaran hakiki melainkan berdasar sesuatu yang berimplikasi secara praktis sesuai kepentingan mereka. Dan, orang-orang pragmatis inilah yang selalu ”menghiasi” ruang publik kita secara terus-menerus.

Jadilah ruang publik yang ribut, gaduh, berisi caci maki, menebar kebencian, dan lain-lain. Ruang publik tak lagi seksi sebagai ruang untuk warga berpartisipasi dalam suasana yang dialogis dan mencerahkan.
Dalam konteks pendapat Jurgen Habermas, ruang publik mestinya menjadi tempat berdialog, bertemunya gagasan dan pemikiran secara kritis dan rasional serta dibebaskan dari kepentingan politik dan kapitalisme. Ruang yang bisa memunculkan solidaritas sosial dalam arti yang luas. Ruang publik bertujuan menciptakan masyarakat sipil yang dapat saling berbagi informasi, minat, keinginan tanpa paksaan guna meraih tujuan bersama.

Saya memberi catatan tentang diskusi di ruang publik untuk tujuan masyarakat bersama. Ini sangat menarik karena interaksi di ruang publik kita nyaris tanpa tujuan yang jelas.

Visi Bersama

Kalau saya mengacu pakar manajemen Peter F. Drucker tentang management by objectives, bahwa sebuah tata kelola organisasi (apa pun organisasi itu) seharusya ada tujuan yang jelas dan kemudian menggunakan pendekatan sistematis dan terorganisasi untuk mencapai sasaran yang ditetapkan itu.

Itu artinya kesamaan visi para pemangku kepentingan di negeri ini menjadi sangat penting. Bila sebuah tujuan sudah ditetapkan maka perlu diikuti langkah konsisten di organisasi itu untuk bersama-sama menuju arah yang sama. Tanpa konsistensi maka upaya untuk mencapai tujuan tidak akan efektif dan efisien.
Banyak kasus yang belakangan ini menjadi bukti bahwa bangsa ini tidak konsisten dalam menyusun strategi untuk tujuan panjang. Penguasa sering membongkar pasang strategi hanya untuk kepentingan pragmatis.
Cara itu bukan hanya menjauhkan visi untuk mencapai sasaran, tapi juga menelan ongkos yang mahal, baik biaya, waktu, tenaga, dan sebagainya.

Pemerintah belum lama ini membentuk Unit Khusus Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila yang bertujuan menyosialiasikan nilai-nilai Pancasila kepada warga negara. Unit ini dibentuk setelah kita terkaget-kaget banyak praktik kehidupan yang makin jauh dari ideologi negara, padahal sebenarnya Indonesia pernah memiliki Ketetapan MPR No. II Tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang kemudian dicabut. Ini artinya kita harus mulai dari nol lagi untuk menjalankan program ”mem-Pancasila-kan” masyarakat.

Majelis Permusyawaratan Rakyat kembali mewacanakan penyusunan semacam garis-garis besar haluan negara yang dihapus sebagai konsekuensi amendemen UUD 1945. Ini juga pengakuan kegagalan kita yang telah memotong strategi yang disusun pemerintahan sebelumnya. MPR ingin menghidupkan garis-garis besar haluan negara (meskipun saat ini wacana itu tidak jelas) setelah melihat pembangunan negara berjalan nyaris tanpa pedoman.

Dalam dunia pendidikan, kita acap mendengar keluhan setiap rezim memiliki konsep sendiri tentang arah pendidikan di Indonesia. Tiap menteri pendidkan ganti maka selalu muncul ide untuk merevisi sistem pendidikan yang berjalan. Bandingkan dengan Finlandia, negara yang paling bagus sistem pendidikannya di dunia, sejak mencetuskan revolusi pendidikan pada 1963 dan 1979 hingga saat ini negara itu konsisten menerapkannya. Hasilnya? efektif mencetak target yang ditetapkan sehingga diakui dunia.

Di ranah pemberantasan korupsi, para penguasa saat ini begitu berambisi untuk melumpuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan berbagai cara. KPK dibentuk sebagai strategi untuk mempercepat pemberantasan korupsi.

Kecupetan pola pikir penguasa—khususnya para wakil rakyat di DPR—memunculkan ide mereka untuk mengenyahkan KPK dari peta pemberantasan korupsi. Sementara saat ini tujuan menekan korupsi masih butuh kerja sangat berat karena belum ada tanda-tanda negara kita bebas dari laku culas itu. Kalau saat ini kita masih meributkan soal strategi, lantas kapan kita sampai pada tujuan? Bukankah strategi cara mencapai tujuan? Saya jadi curiga kita memang berada di tengah masyarakat yang ”rabun” seperti sindiran Theodore Levitt itu.Penguasa rabun, politikus rabun, penegak hukum rabun, dan kita warga yang rabun pula.

Futurolog Ziauddin Sardar pernah mengingatkan bahwa masa depan tergantung saat ini. Sardar lantas mengajak kita untuk melukis sejarah masa depan. Problemnya kalau kita banyak yang rabun, pura-pura rabun, atau merabunkan diri, bagaimana kita bisa menulis sejarah masa depan?…

Keterangan : Artikel ini pernah dimuat di Solopos edisi Senin (11/9/2017), dengan sedikit revisi dari edisi cetak.

Apakah tulisan ini membantu ?

sholahuddin

Laki-laki pencari Tuhan.....

View all posts

Add comment