Soloensis

Air Minum dalam Kemasan

Air minum dalam kemasan (AMDK) itu menggoda pikiran saya. Setidaknya setengah tahun terakhir. Awalnya ya sejak beberapa tahun lalu ketika kali pertama saya melihat AMDK dalam kemasan galon ada di ruang tamu rumah orang tua saya di dDesa Wisata Pentingsari, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, DIY.
Pikiran kian tergoda ketika sejak setengah tahun lalu, di teras rumah orang tua saya bagian timur–rumah orang tua saya terdiri atas dua bangunan rumah, di sebelah barat dan di sebelah timur–ada lemari etalase, terbuat dari kaca, yang di dalamnya ada banyak AMDK ukuran kecil dan sedang.
Mengapa pikiran saya tergoda? Sederhana, desa asal usul saya itu, tanah tumpah darah saya, tempat saya selalu pulang, sebenarnya desa yang berkelimpahan air bersih. Di sebelah timur dan utara rumah orang tua saya itu ada kolam ikan, empat kolam ukuran kecil, yang airnya mengalir 24 jam.
Air itu bersumber dari mata air di kaki Gunung Merapi yang dialirkan dengan pipa. Di rumah orang tua saya juga ada sumur yang airnya mengalir dengan mudah karena telah dipasangi mesin pompa air yang otomatis menyala saat tandon di atas dapur airnya berkurang. Pokoknya 24 air bersih tersedia, bersumber dari sumur dan dari mata air di kaki Gunung Merapi itu.
Mau untuk mencuci, mandi, minum, mengisi kolam, menyiram tanaman tak kekurangan. Lalu, mengapa ada AMDK? Inilah yang menggoda pemikiran saya. Menurut ibu saya, AMDK itu untuk kepraktisan saja. Yang dalam kemasan galon itu untuk para tamu, wisatawan, yang menginap di rumah orang tua saya.
Di rumah orang tua saya itu ada tiga kamar yang hampir tiap akhir pekan disewa tetamu yang datang berombongan ke desa wisata tersebut. Satu kamar bisa menampung empat orang dewasa. Sedangkan AMDK kemasan kecil dan sedang yang ditata di lemari etalasi di teras sebelah timur dijual untuk para tetamu.
Jawaban ibu saya ihwal kepraktisan itu masuk akal. Tentu sangat melelahkan bila ibu saya harus sering memasak air untuk persediaan minum para tamu. Eh, tunggu dulu, ternyata untuk air minum keluarga saya, ibu selalu menyediakan satu panci besar—panci ukuran besaaaar–untuk persediaan air minum selama sehari semalam.
Air itu diambil dari sumur lalu dimasak hingga mendidih dan kemudian didinginkan. Saya jelas memilih air ini daripada AMDK yang tersedia di ruang tamu atau yang ditata di lemari kaca etalase di teras itu.
Dari segi rasa, air minum rebusan air sumur itu jauh lebih menyegarkan daripada AMDK merek apa pun. Nah, mengapa ibu tak melakukan hal yang sama untuk para tetamu? Bukankah dengan air minum–yang jelas sangat sehat dan tak berkuman serta sangat layak minum itu–rebusan air sumur para tetamu benar-benar merasakan hidup dari alam perdesaan?
Ibu saya tak memberikan jawaban yang memuaskan saya. Penjelasannya ya hanya urusan kepraktisan itu. Saya pikir-pikir, ini persoalan sepele yang sebenarnya serius. Mengapa ketika air minum berlimpah ruah, 24 jam mengalir dan tersedia, masih harus ada AMDK?
Setelah mengingat-ingat beberapa buku ihwal peradaban era sekarang, saya ingat tentang “gaya hidup”. AMDK itu ternyata bagian dari gaya hidup. Pada Lebaran beberapa hari lalu, ketika saya pulang ke Desa Wisata Pentingsari dan beranjangsana ke kerabat dan tetangga sedusun, di setiap rumah saya menemui AMDK kemasan gelas berbagai merek.
Saya jadi teringat kala menjadi reporter–sekitar 12 tahun lalu–dan dalam satu masa liputan saya intensif mengikuti pro dan kontra operasionalisasi pabrik AMDK di sebuah kabupaten di kawasan Soloraya.
Kala itu saya teringat dengan ucapan salah seorang kawan saya dari Jakarta yang menjadi “konsultan komunikasi publik” pabrik AMDK itu bahwa AMDK akan menjadi bagian hidup setiap orang di dunia ini.
Dan gaya hidup itu masuk, hidup, kemudian menguasai, walau sebenarnya sangat tidak perlu. Buat apa AMDK di desa yang berkelimpahan air bersih?

Apakah tulisan ini membantu ?

ichwan prasetyo

Jurnalis, suka membaca, suka mengoleksi buku, sedih bila buku dipinjam (apalagi kalau tak dikembalikan), tak suka kemunafikan.

View all posts

Add comment