Soloensis

Koperasi Mengubur Khayalan Serikat Ekonomi

Ah, tidak joss kok! Suci Nor Afifah, gagasanmu dalam esai Syarikat Ekonomi dan Kebangsaan (Solopos, 29 Maret 2016) menurut saya, keterlaluan. Ajakan untuk membayangkan pengusaha roti berserikat, pengusaha warung internet berserikat, pengusaha pecel berserikat dan pengusaha satai berserikat, membuat saya menarik napas panjang sambil mengelus dada. Seorang mantan Presiden Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), kok sukanya berkhayal di siang bolong.

Jangan-jangan sewaktu menjabat dulu, kamu gagal mengadakan perserikatan-perserikatan berlatar ekonomi. Jajaran menteri dan staf di kabinetmu pada mogok. Tak mau diajak bekerja sama. Oh, barangkali mereka terlanjur mengingat Raden Mas Suryopranoto sebagai Raja Mogok dan menjadikannya suri tauladan nomor wahid. Jadi sedikit-sedikit mogok. Soalnya, karakter aktivis mahasiswa seperti Suci dan kawan-kawan itu kan sukanya menuntut bukti bukan janji-janji. Eh, lha ini kok malah berkhayal.

Suci, kalau R.M. Suryopranoto baru “menggagas” perserikatan ekonomi untuk membebaskan rakyat dari cengkeraman lintah darat pada usia 29 tahun, saya punya tokoh yang lebih hebat. Tempo masih menjadi mahasiswa, mungkin seumuran Suci, tokoh yang saya ceritakan ini sudah berhasil membebaskan penduduk Desa Dolok, Batangtoru, Tapanuli Selatan, dari jeratan lintah darat. Tanpa demonstrasi. Apalagi mogok seperti tokoh yang selalu dalam ingatan Suci itu. Tokoh kita ini memilih jalan koperasi, seperti usulan Mohammad Hatta.

Koperasi yang berazaskan kekeluargaan, dianggapnya cocok dengan karakteristik masyarakat. Koperasi bisa merangkul semua golongan, baik buruh, petani, pedagang, peternak, bapak rumah tangga dan lain sebagainya. Tidak seperti serikat atau organisasi yang Suci tawarkan. Niatnya mau mempersatukan pengusaha melalui serikat atau organisasi, namun tanpa disadari justru mengotak-kotakkan jenis usahanya. Kesehatan persaingan antarserikat pun tak bisa diharapkan. Misalnya kasus mutakhir antara serikat taksi manual dan taksi berbasis internet, ojek pangkalan dan ojek daring (dalam jaringan), yang berujung pada kerusuhan bentrok fisik itu. Mudah-mudahan Suci bahagia menyimak biografi tokoh muda ini.
Membangun koperasi

Nama pemuda itu adalah Binsar Sianipar. Ia cerdas dan memiliki pengetahuan luas. Perawakannya tegap dan rupawan. Mahasiswa jurusan pertanian itu juga ramah dan ringan tangan. Rambutnya dicukur pendek. Ia suka mengenakan kemeja. Demi kerapian, katanya. Jam tangan tak pernah lepas dari pergelangan tangan kirinya. Sungguh tipe pemuda yang selalu berusaha tepat waktu dan tak suka menunda-nunda pekerjaan. Binsar adalah seorang penulis. Salah satu karyanya yang dapat ditemukan di perpustakaan-perpustakaan sekolah yaitu buku cerita berjudul Hari Baik.

Pada paruh kedua tahun 1974, Binsar dan beberapa temannya dikirim Universitasnya untuk membantu penduduk Desa Dolok. Sebuah desa yang belum merdeka dari belenggu kemiskinan. Setiap malam, desa itu diliputi kegelapan. Belum ada listrik. Namun pemandangan alamnya yang asri membuat orang merasa damai dan tenang. Desa itu juga sulit air bersih. Untuk mendapatkan air, para penduduk di sana harus berjalan sejauh satu kilometer ke arah lembah. Kesulitan air bersih membiasakan penduduk desa untuk jarang mandi. Hal tersebut mengakibatkan menjangkitnya penyakit kulit (frambusia), sakit patek, penyakit puru atau penyakit nambi.

Representasi kemiskinan desa itu dapat kita temukan dari tidak adanya rumah penduduk yang memiliki jamban kecuali rumah Kepala Kampung. Anak-anak pun buang air besar di sembarang tempat. Sawah-sawah sudah dikuasai oleh beberapa orang. Kemiskinan itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh seseorang untuk memeras penduduk melalui praktik rentenir. Kalau penduduk meminjam dua kaleng padi dalam tempo sebulan, ia harus membayar tiga kaleng padi. Kalau meminjam uang seribu rupiah dalam tempo sebulan, ia harus membayar dua ribu rupiah. Penduduk yang miskin semakin terperosok dalam jurang kefakiran.

Situasi di hadapannya yang demikian, membuat Binsar gusar. Ia berpikir dan merenung. Hingga sampailah pada keputusan untuk membangun “Warung Koperasi Dusun Dolok”. Awalnya, koperasi itu dibangun dengan bahan seadanya. Hanya terbuat dari kayu dan bambu. Dibangun secara gotong royong bersama warga desa. Di warung koperasi itu dijual alat-alat pertanian. Di samping itu disediakan pula barang-barang keperluan rumah tangga sehari-hari dengan harga yang murah. Kelak, anggota koperasi itu juga dapat menyimpan dan meminjam uang di sana.

Alhasil, berkat kemajuan koperasi yang dibangun Binsar, si lintah darat di desa Dolok pindah. Ia mati kutu karena tak ada lagi warga desa yang meminjam uang padanya. Tingkat perekonomian di desa itu mengalami kemajuan pesat. Anak-anak yang putus sekolah, jadi mampu bersekolah lagi. Suci, tokoh kita ini luar biasa kan?

Saya kira ia sesuai dengan semangat yang kerap diteriak-teriakkan Presiden Mahasiswa dan jajarannya, seperti Suci dulu. Menginspirasi. Suci, sebelum tulisan ini saya akhiri, kamu perlu tahu sesuatu. Binsar Sianipar, mahasiswa cerdas nan cekatan yang saya ceritakan itu ternyata hanya tokoh khayalan Mansur Samin dalam cerita anak Kesukaran Terkalahkan (2007). Kamu pasti sudah tergoda untuk membayangkan dan mengkhayalkannya. Hehe, Suci jangan begitu lagi ya!

Apakah tulisan ini membantu ?

Hanputro_widyono

Mahasiswa Sastra Indonesia UNS

View all posts

Add comment