Soloensis

PASAR SAPI PASAR SEPI TANPA SAPI

Pasar Gawanan atau yang lebih dikenal dengan pasar Sapi. Berada di Gawanan, Colomadu, Karanganyar. Lokasinya bukan lokasi strategis, karena jalan sekitar pasar ini sepi, terjal dan berlubang. Selain berlubang juga penuh dengan pasir yang membuatnya licin. Hari sabtu 10 november saya mengunjungi pasar ini. Saya sempat heran dengan kondisi pasar yang menurut saya seperti bukan pasar. Bahkan kondisi pasar sapi yang nyaman tidak ada satu pun ekor sapi didalamnya. Tak sesuai nama. Saya datang sekitar 5.30 WIB. Dimana seharunya pada jam-jam itu pasar-pasar dipenuhi oleh pedagang, pembeli ataupun pemasok. Namun di pasar sapi ini hanya ada 5 pedagang. Mereka menjual sarapan dan sayur mentahan. Lainnya hanya membuka ruko. Entah sudah kondisi buka atau hanya bersih-bersih karena tak ada tulisan buka atau open diluarnya.

Ada sekitar 70-an ruko. Beberapa ruko masih layak pakai. Namun hanya 10 dari semua ruko ini yang terpakai. Ada yang buka lebih siang, pada sore hari, dan tak sama selali buka. Hanya terpasang MMT usang yang menandakan ruko ini pernah dipakai untuk jualan. Kebanyakan rusak parah karena tak terawat, berkarat, bahkan ada yang temboknya retak dan berlumut. Saya juga memasuki bagian dalam pasar. Memang lapang, penuh rumput liar, ruko bagian dalam malah temboknya bolong, dan juga terpasang sekat berupa pagar hitam tanpa ada sapi. Pasar sapi, pasar sepi, tanpa sapi.

 

Karena hanya ada satu pedagang yang dekat dengan tugu masuk, sayapun mengajaknya berbincang dengan makan rica-rica yang beliau jual. Namanya Bu Alfiyah, beliau penjual Hik Titik Nia di pasar tersebut. Saya kira dia bu Nia. Aslinya dari Magelang. Dia di Karanganyar ikut suaminya dan hidup di desa dekat pasar, Gawanan. Sebelum saya memesan sudah ada satu ibu di sebelah saya. Beliau lebih dahulu tiba. Saya sesekali mendengar percakapkan mereka sambil melihat-lihat makanan yang tersaji didepan saya. Kedengarannya ibu Alfiyah belum lama mendirikan Hik ini. Saya mengajukan pertanyaan. Beliau pun bercerita mengapa baru mendirikan. “Sebenarnya ini sudah lama, pemiliknya bukan saya. Pemilik asli berhenti berjualan karena suatu alasan, dan dia menawarkan hik ini pada saya. Dia menyewakannya pada saya. Perbulan 200 ribu”.

Saya sempat heran dengan uang sewa tersebut. Karena melihat kondisi ruko yang sudah bobrok bahkan si ibu hanya menggunakan bagian emperan tanpa menyediakan tempat lesehan juga. Saya pun bertanya apa uang 200 ribu itu juga sewa seruko-rukonya. Namun saya tercengang karena bu Alfiyah menceritakan bahwa sewa ini tanpa menggunakan ruko. Hanya lahan depan saja. “Engak sama ruko, rukonya juga bobrok gini. Orang2 sini nekat, kalau mau jualan ya jualan aja tinggal mendirikan. Nanti kalau ada yang pakai ya saya minggir ke sebelah, kan ini juga masih jembar (luas) banyak yang gak kepakai” terangnya. Betapa untung sekali pemilik sebelumnya tanpa punya sewa ruko/tanah secara sah beliau bisa mendapatkan 200 ribu dari bu Alfiyah. Saya juga menanyakan bagaimana pasar ini bisa disebut pasar sapi. “Iya sampai sekarang orang-orang taunya pasar sapi, kalau pasar gawanan ga banyak yang tahu, tapi ga ada sapinya. Pasar ini juga enggak ada yang mengelola, dulunya ada tapi orangnya ngak jadi” tambahnya.

 

Pasar ini juga beralih fungsi. Kini setiap hari selasa, sabtu dan minggu utamanya pada malam hari dijadikan sebagai lahan perlombaan burung. Burung yang di lombakan bermacam-macam. Hadiah utamanya juga uang sekian juta. Masyarakat masih menamai pasar ini sebagai pasar sapi yang dibuat untuk perlombaan burung. Bukan pasar burung. Dan juga masyarakat mengenalnya “Pasar ra dadi” atau pasar yang gak jadi.

 

Rika Ardiyawati 161211057

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Rika Ardiya

    Mahasiswa KPI16 IAIN SURAKARTA

    View all posts

    Add comment