Soloensis

Nikmat Mana Lagi Yang Kau Dustakan??

Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal. (yaitu) Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Ali-‘Imran: 190-191)

Aku berucap syukur. Hari ini aku mengalami kejadian yang mungkin tidak akan kusaksikan lagi di sisa usia kecuali Allah memberi anugerah umur panjang. Meski tidak 100 persen, gerhana matahari di Kota Solo cukup memberi warna religius. Bersama ribuan muslim lainnya, salat khusuf kutunaikan. Sayang aku tidak bisa berjemaah di masjid. Beberapa masjid terdekat yang kudatangi telah selesai menggelar salat.

Terpaksa aku pulang dan salat sendirian di rumah. Malah lebih khusyuk. Suasana sangat hening. Cuaca pun begitu sejuk. Ada getaran di hati saat rekaat demi rakaat terlewati. Salat pun selesai. Aku masih tercenung dalam dudukku. Pikiran mengembara. Teringat olehku kejadian puluhan tahun silam, 11 Juni 1983.

Kala itu umurku belum genap enam tahun. Tapi bayangan itu begitu nyata. Bapak memimpin salat khusuf di dalam rumah kami di desa. Di mataku beliau terlihat gagah dan tegap dengan sarung lusuhnya. Begitupun kini, bagiku beliau masih terlihat gagah meski telah termakan usia.

Rumah kami tertutup rapat, sangat rapat malah. Nyaris tidak ada cahaya masuk. Bapak menutup rapat seluruh rumah dengan plastik hitam. Bahkan genting kaca tak luput dari perhatian beliau. Hampir tanpa ventilasi udara. Beruntung dinding rumah kami dari gedhek (anyaman bambu) sehingga udara masih bisa mengalir. “Tidak boleh ada cahaya masuk, nanti bisa buta,” begitu kata Bapak, menyitir wejangan Pak Kades kepada seluruh warga di desa kami, sehari sebelumnya.

Kami hanya bisa manut. Batinku, sungguh luar biasa perlindungan yang diberikan Bapak kepada kami, anak-anaknya yang lemah. Sekarang baru aku tahu, saat itu memang ada doktrin untuk tidak keluar rumah. Mitos yang beredar, sekali saja melirik ke matahari– meski tidak melihat langsung—mata langsung buta.

Kami begitu khusuk. Aku dan empat saudaraku menjadi jemaah. Ibu berdiri di belakang. Salat selesai. Bapak memimpin doa dan zikir. Begitu syahdu. Setelah itu kami tidak ke mana-mana. Berdiam di rumah hingga menjelang Asar satu-satunya aktivitas yang bisa kami lakukan. Berbincang-bincang, saling canda menjadi hiburan. Setelah lelah kami tidur. Pada masa itu hiburan termewah di desa adalah radio siaran AM. Sayang, bapak juga belum mampu membelinya. Televisi hanya ada di rumah Pak RT. Ditonton ramai-ramai sekampung. Tapi jangankan ke rumah Pak RT, ke luar rumah pun kami tak berani, takut buta.

Dulu kami sangat miskin. Sekarang pun kami belum kaya. Tapi setidaknya di rumahku sekarang sudah ada televisi. Tak perlu ke rumah Pak RT untuk sekedar mengetahui informasi tentang gerhana matahari. Dinding rumah tak lagi gedhek, sudah bata walaupun kualitas khas perumahan. Tak banyak uang di tabungan. Tapi, kami tidak pernah kekurangan untuk kebutuhan rutin harian dan bulanan.

Tiba-tiba saja salat gerhana ini mengingatkanku pada rasa syukur. Kurang apa Allah sama aku? Begitu banyak kemudahan dan keajaiban yang Ia berikan. Terlalu banyak nikmat yang aku rasakan. Lalu nikmat Tuhanmu mana lagi yang akan kau dustakan wahai hamba sahaya?

Air mataku menitik pelan. Teringat aku kepada istriku. Ia paling senang membaca Surat Arrahman setiap selesai salat. “Biar selalu ingat saat ijab kabul,” begitu katanya saat kutanya tentang kebiasaannya.
[55: 10] Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk (Nya).
[55:11] di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang.
[55:12] Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya.
[55:13] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55:14] Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar,
[55:15] dan Dia menciptakan jin dari nyala api.
[55:16] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55:17] Tuhan yang memelihara kedua tempat terbit matahari dan Tuhan yang memelihara kedua tempat terbenamnya.
[55:18] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
[55:19] Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, [55.20] antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing.
[55:21] Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Kulantunkan surat favorit istriku itu. Pelan tapi mendalam. Terbayang wajahnya. Seakan ia ikut berlantun di sampingku. Teringat semua kenangan manis bersamanya. Ah, istriku. Aku seperti belum percaya ada perempuan sehebat dirimu. Setangguh dirimu. Sesederhana dirimu. Kau seperti cerita dalam dongeng dan novel-novel yang banyak kubaca. Tapi, kau benar-benar nyata. “Istri yang baik tidak akan menyusahkan suaminya. Dan, suami yang baik tidak rela istrinya hidup susah,” itu katamu, tak lama setelah kita menikah.

Kau tahu aku orang tak berpunya. Tapi kau rela mendampingi dalam suka dan duka, saat kupapa. Ketika dulu kutanya mas kawin apa yang kau minta, engkau kukuh menjawab,” Seperangkat alat salat dan membaca surat Arrahman.” Dan itulah yang terjadi, 11 tahun silam.

Bagiku kau laksana Zulaikah bagi Yusuf, ibarat Khadijah bagi Muhammad dan seperti Fatimah bagi Ali. Kau mungkin bukan perempuan sempurna tapi bagiku kau terlalu sempurna. Kau seperti mimpi yang bisa kupetik saat ku terjaga. Kau adalah anugerah terindah dalam hidupku.

Surat Arrahman telah tiba di akhir. Tujuh puluh delapan ayat selesai kulantun. Ayat yang selalu kau pinta kulantunkan di sisi ranjang tempatmu berbaring. Dan kini, ayat-ayat ini yang menemaniku berzikir dan berdoa untukmu.

Kusambung dengan doa untukmu yang tak pernah putus di setiap akhir salatku. Semoga engkau mendapatkan yang kau damba. Surganya Allah dan bersua dengan Muhammad, Rasul Allah. Itu yang kau pinta di setiap akhir salatmu, yang kudengar selalu.

Jika nanti saatnya tiba, kukan bersaksi di hadapan Sang Pencipta; tentang hijrahmu, tentang pertaubatanmu. Setidaknya, di dunia ini aku telah menjadi saksi syahadat terakhirmu, kala kau lantunkan di pengujung kesadaranmu, di pelukanku. “Jika nanti Umi meninggal, Umi ingin saat bersyahadat di pelukan Abi,” itu yang kau tulis dulu dalam suratmu sebelum kita menikah. Surat yang kini aku laminating. Dan, Allah telah mengabulkan keinginanmu itu.

Istriku, hanya tiga amalan yang bisa menyertai di alam barumu. Ilmu yang bermanfaat, amal jariyah dan doa anak yang saleh. Dan istriku, aku menjadi saksi tentang kesungguhanmu mengajarkan ilmu kepada murid-muridmu yang tanpa mengenal lelah; tentang sedekahmu yang tidak mengenal waktu meski kita sedang tak berpunya. Dan wahai istriku, ketahuilah, dua anakmu tak berhenti mendoakanmu di setiap selesai salat mereka.

Istriku, engkau mendamba anak-anakmu menjadi penghafal Alquran, agar bisa mendoakan kita jika telah tiada. Semoga aku bisa mendampingi mereka menunaikan cita-citamu. Wahai cinta dan sayangku, semoga Allah memberimu surga-Nya. Dan nantikan kami di sana sebagaimana sering kau dambakan dahulu. Allahumagfirlaha warhamhaa wa’afihaa wa’fu’anhaa. Waakrim nuzulahaa wawasi’ masqalahaa. Waj’al jannata….

Solo, 9 Maret 2016

Apakah tulisan ini membantu ?

abu_nadhif

Penggemar kuliner yang hobi olahraga, membaca, memasak dan menikmati alam

View all posts

Add comment