Soloensis

Budak Sosial Media

Sabtu Malam Minggu ini seperti biasanya di tempat saya tinggal ini, hening.

 Bukan tidak ada orang, setiap malam Minggu setidaknya masih ada 80 orang dari 100 orang di Pondok Pesantren Mahasiswa Darussalam, tempat saya tinggal. Kalaupun ada suara, hanya ada suara wajan dan serok penggorengan dari dapur beserta suara keributan bahan mana yang harus dimasukkan terlebih dahulu, dari baunya mereka memasak nasi goreng dan seblak.

Kenapa saya bilang hening, meskipun ada 80 orang ditempat ini?

Karena, mereka tengah berkutat dengan smartphone ataupun laptop masing-masing. Iya, malam Minggu merupakan salah satu hari yang kami tunggu selain diizinkan  untuk pulang dan tidak ngaji kami juga diizinkan menggunakan handphone.

Diizinkan menggunakan handphone?

Pasti kalian bingung.

Iya, di pondok kami setiap Ahad hingga Jumat setelah sholat Ishak hingga subuh semua handphone dikumpulkan tanpa terkecuali, tidak peduli dia mahasiswa baru maupun mahasiswa yang tengah berkutat dengan skripsinya.

Lalu bagaimana kalau ada tugas atau pemberitahuan?

Ada keringanan untuk hal itu, boleh menggunakan handphone setelah ngaji tapi sampai jam 11 malam kemudian dikumpulkan lagi. Kembali, ke paragraf atas jadi setiap malam Minggu pondok selalu sepi, mereka sibuk dengan handphonenya yang saya yakin mereka tidak sedang berchating ria karena tidak ada ekspresi di wajahnya.

Pondok kami tersedia WiFi, jadi bisa dibayangkan makin heningnya pondok ini. Handphone, colokan dan Wifi. Nikmat tuhan manakah yang kamu dustakan?

Ambil sampel di kamarku, ada 7 orang di sini termasuk saya. Tapi semua sibuk sendiri, dari yang aku lihat, semuanya tengah sibuk dengan sosial medianya. 1 orang dengan WhatsApp, 2 orang dengan Instagram, 3 orang dengan YouTube.

Kamu bisa tahu?

Iya tau, karena saya melihat sendiri apa yang mereka lihat di ponsel mereka.

Salah satu hal yang tidak saya sukai saat bermalam Minggu di Pondok. Padahal kalau hari lain setelah ngaji kami selalu menyempatkan bercengkrama sambil makan kerupuk sisa makan sore tadi.

Padahal 3 orang teman satu kamar saya sudah sejak pagi berkutat dengan handphonenya karena kebutulan tidak ada jadwal kuliah. Mereka hanya berhenti menggunakan handphone saat makan, sholat dan tidur. Jadi kalau saya hitung sekitar jam delapan pagi hingga jam setengah satu siang mereka sibuk menonton Jurnal Risa.

Mengapa saya bisa tau?

Karena, saya sempat ikut menonton dari jam 10 sampai setengah satu. Kemudian, jam setengah dua lanjut nonton hingga jam empat lalu mandi dan sholat. Setelah Ishak, lanjut lagi nonton YouTube hingga ketiduran.

Jadi, berapa jam mereka berkutat dengan handphone?

Sekitar 10 jam lebih.

 Sebenarnya, hak mereka juga mau menggunakan waktu mereka untuk apa. Tapi, yang saya tidak suka mereka mengeluhkan kalau mereka tidak produktif. Sudah tau tidak produktif, tapi masih dilakukan. Padahal waktu 10 jam itu bisa mereka gunakan untuk hal yang lebih produktif. Seperti kegiatan saya hari ini, yang tumben produktif. Mulai dari mencuci baju, motor dan piring kemudian menyetrika baju, dan menulis esai ini.

Saya juga hampir sama dengan ketiga teman saya tadi. Tidak bisa lepas dari media sosial, setidaknya saya menggunakan hampir 2 jam untuk mengakses portal berita dan Twitter. Serta 2 jam pula untuk hiburan seperti mengakses YouTube, Webtoon dan Instagram, bisa dibilang saya juga menjadi budak media sosial.

Saya tau, handphone bisa membuat kecanduan dan lupa akan sekitar. Mungkin itu salah satu alasan pihak pondok mengapa peraturan handphone dikumpulkan, supaya fokus belajar dan peka dengan sekitar.

            Mungkin, saya harus sowan ke ustad yang mengusulkan peraturan itu. Mengucapkan terima kasih berkat peraturan larangan penggunan handphone dari ishak hingga subuh, kami jadi semakin akrab.

Saya yakin, jika mereka tidak memiliki kuota internet dan tidak tersambung dengan WiFi pasti mereka menggunakan waktunya untuk hal lain. Seperti pengalaman saya yang sering tidak tersambung WiFi dan tidak punya kuota. Saya menjadi pribadi yang produktif,  meskipun sering ketinggalan info soal kelas kosong.

Saya ingin mencoba cara hidup tanpa media sosial bahkan tanpa handphone seperti, Simon Cowell juri American Got Talents. Tapi, saya  sadar diri Simon orang kaya raya yang bisa bayar asisten untuk mengatur dan mengimgatkan jadwalnya. Sedangkan saya, agak sulit membatasi media sosial terlebih sebagai mahasiswa komunikasi saya dituntut tau dan paham dengan berita yang tengah dibicarakan masyarakat.

Selain itu apabila, saya tidak menggunakan handphone maka akses untuk menghibur diri akan hilang sehingga sulit sekali bagi saya untuk melepas ponsel meskipun dalam sehari hanya sekitar 4 jam saya menggunakan ponsel,walaupum bisa saja saya mengisi 4 jam tersebut dengan liburan meskipun hanya di sekitaran sawah depan masjid.

    Apakah tulisan ini membantu ?

    Hanif Wulandari

    Mahasiswi IAIN Surakarta

    View all posts

    Add comment