Soloensis

Kuliner, Cinta, dan Travelling di AADC 2

“Mas, tolong dong minta info. AADC 2 besok tayang enggak di bioskop Solo? Soalnya aku tanya ke dua bioskop di Solo, belum ada kepastian besok akan tayang atau belum.”
Pesan ini masuk ke ponsel saya, Rabu (27/4), atau sehari menjelang pemutaran film Ada Apa Dengan Cinta (AADC 2). Dikirim oleh seorang gadis remaja yang duduk di bangku kelas XI SMA. Dia berkirim pesan karena khawatir AADC 2, film yang sudah dia tunggu sejak lama, tak ditayangkan di bioskop-bioskop di Solo. Maklum, pada Rabu itu hampir semua layar lebar serentak mulai memutar Captain America: Civil War dan pada Kamis (28/4) adalah jadwal penayangan AADC 2 di seluruh bioskop Tanah Air.
Setelah saya cari informasi kepada teman kerja yang lebih paham jadwal penayangan film di Solo, saya pun bisa memberi jawaban yang melegakan bagi dia. “Tenang saja, tetap diputar kok, beranilah AADC 2 head-to-head sama Captain America,” jawab saya.
Keesokan harinya, kembali dia menghubungi saya melalui ponsel. Dengan bangga dia memamerkan foto tiket AADC 2 yang dia beli.
Saya tersenyum sendiri di dalam hati. Senang juga melihat penantiannya menyaksikan aksi Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra di layar lebar akhirnya kesampaian. Lalu saya bertanya sekali lagi kepadanya.
“Emang udah nonton AADC yang pertama? Kan itu 14 tahun lalu. Artinya usiamu masih 4 tahun waktu itu? tanya saya penasaran.
“Udah dong, jangan ditanya di mana nontonnya, pokoknya udah, hehe,” balas dia.
Bagi dia, AADC 2 bukan sekadar film yang akan memberi jawaban bagaimana akhir kisah cinta tokoh dua anak manusia di film ini, setelah menanti 168 purnama, atau lebih 167 purnama dari yang dijanjikan Rangga kepada Cinta untuk kembali kepadanya.
Bukan pula sekadar memanjakan gairahnya terhadap sastra, khususnya puisi, yang banyak bertaburan di film ini. Bagi dia, memilih menonton AADC 2 adalah sebuah keberpihakan terhadap hasil kerja keras para sineas Tanah Air. Bentuk pembelaan terhadap karya anak-anak negeri dari gempuran film-fim asing yang nyaris tiada henti.
“Di sini film asing selalu didahulukan, padahal jelas kalau hal seperti itu terus terjadi, film Indonesia enggak akan berkembang. Kita nuntut film Indonesia maju, tapi kita sendiri enggak ada kontribusinya, ya percuma,” begitu tulis dia memberi alasan mengapa harus menonton AADC 2 dan bukan film lain.
Saya sependapat dengan teman kecil saya ini. Karena itu pula saya sependapat dengan optimisme produser AADC 2, Mira Lesmana, saat filmnya harus “berebut layar” dengan Captain America di bioskop-bioskop Tanah Air.
“Enggak perlu takut dengan Captain America, kami punya Kapten Rangga,” ujarnya berseloroh. “Kami punya kebanggaan karena ini film berbahasa Indonesia, yang mungkin produksinya hanya cukup untuk katering Brad Pitt,” ujarnya dalam konferensi pers di Greenhost Boutique, Jogja.
Seperti halnya teman kecil saya yang punya alasan tersendiri menyaksikan sebuah film, demikian halnya dengan saya atau Anda. Alih-alih sibuk mencari pesan tersirat yang ingin disampaikan oleh pembuatnya, menonton film bagi saya cukup sebagai sarana menghibur secara audio, visual, maupun rasa.
Bagi saya, AADC 2 ini seperti trilogi Before Sunrise (1995), Before Sunset (2004), dan Before Midnight (2013). Jika AADC harus menunggu waktu selama 14 tahun sebelum akhirnya ada sekuelnya, trilogi Before ini masing-masing berjeda 9 tahun. Before Sunrise berkisah tentang perjumpaan di kereta api dan dilanjutkan dengan eksplorasi kota Vienna, Austria. Film yang dibintangi Ethan Hawke dan Julie Delphie ini nyaris sepanjang durasi hanya berisi dialog dua orang. Namun tak terasa menjemukan karena saya dimanjakan pemandangan Vienna, bar, dan taman kota.
Eksplorasi Jogja
Jika Before Sunrise sukses mengeksplorasi Vienna, demikian halnya dengan AADC 2 yang bagi saya, mampu menggali segenap keindahan Yogyakarta dan sekitarnya secara utuh. Ya keindahan lokasi wisata, tempat kuliner, maupun sudut-sudut kota yang barangkali sering terlewat oleh kita.
Tak banyak yang tahu Rumah Doa Bukit Rhema atau gereja ayam di Punthuk Setumbu, Magelang. Punthuk Setumbu menjadi salah satu lokasi favorit fotografer yang ingin mengambil gambar Borobudur saat fajar tiba.
Pemandangan Rangga dan Cinta di puncak gereja ayam saat fajar menyingsing, mengingatkan saya pada adegan yang paling sering dikenang di film Titanic ketika Jack (Leonardo DiCaprio) memeluk tubuh Rose (Kate Winslet) dari belakang di haluan kapal.
Saya tak akan kaget jika kemudian ada kabar angka kunjungan ke Punthuk Setumbu dan gereja ayam akan meningkat sejak AADC 2.
Pun dengan lokasi tempat pertemuan Cinta dan Rangga di sebuah kafe kecil. Adegan yang muncul pula di trailer AADC 2 ini kemudian banyak memunculkan meme-meme lucu diambil di Sellie Coffee, di Jl. Gerilya 822, Prawirotaman II. Saya juga tak akan heran jika bakal banyak pasangan yang datang ke kafe yang rutin memberi kejutan bagi pengunjungnya ini, sekadar memuaskan rasa penasaran atau merasakan sensasi menjadi Rangga dan Cinta.
Itu baru dua lokasi. Belum lagi kita bicara mengenai Klinik Kopi dengan barista Pepeng yang hobi bicara kopi, Restoran Bu Ageng, Sate Klathak Pak Bari, Greenhost Hotel.
Yogyakarta adalah gudang seniman. Tak heran AADC 2 juga banyak melibatkan seniman Yogya. Eko Nugroho misalnya. Eko dikenal sebagai inisiator komik Daging Tumbuh (DGTMB) dan perupa yang merespons persoalan urban lewat mural, instalasi, dan bordir. Di film AADC 2, penonton bisa menikmati karya Eko di antaranya lampion raksasa batik, mural, karya bordir lukisan, dan patung.
Ada pula kolaborasi dengan grup teater boneka Papermoon Puppet Theatre yang digawangi oleh Iwan Effendi dan Ria Papermoon. Keduanya menghadirkan “Secangkir Kopi dari Playa” dan tak ketinggalan Marzuki “Kill The DJ, dan grup Jogja HipHop Foundation, penyanyi indie jazz Mian Tiara. Serta seniman kopi atau barista bernama Pepeng.
Jadi, saya juga tidak heran ketika tiba-tiba istri saya, yang kebetulan orang Jogja dan lagi suka dengan segala yang berbau AADC, mengajak jalan-jalan ke Prawirotaman sekadar memuaskan rasa ingin tahunya. Hehehe

Apakah tulisan ini membantu ?

Add comment