Soloensis

Emosi = Marah?

Apakah emosi dan marah merupakan kata yang sama? Mengapa dalam penggunaan sehari-hari kita kerap menemui kalimat yang menyatakan, bahwa emosi bersinonim dengan marah. Misalnya dalam kalimat “Ah, aku betul-betul emosi ketika melihat seorang anak durhaka kepada orang tuanya” kerap disamakan dengan “Ah, aku betul-betul marah ketika melihat seorang anak durhaka kepada orang tuanya”.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), marah memiliki arti ‘sangat tidak senang (karena dihina, diperlakukan tidak sepantasnya,dsb), sedangkan emosi memiliki arti ‘keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan, keberanian yang bersifat subjektif)’. Berdasarkan definisi dari KBBI tersebut, maka sangat jelas, bahwa emosi dan marah merupakan dua kata yang tidak bersinonim (memiliki arti yang berbeda).

Daniel Goleman seorang ahli psikologi membedakan emosi menjadi: amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan malu. Dengan demikian semakin jelas, bahwa marah dan emosi bukanlah kata yang bersinonim. Marah hanyalah salah satu jenis dari emosi. Lantas mengapa dalam penggunaan bahasa Indonesia, marah kerap digantikan dengan kata emosi? Bahkan orang yang sering marah kerap disebut dengan kata emosional?

Fenomena tersebut dapat dikatakan sebagai penyempitan makna. Sebuah kata disebut mengalami penyempitan makna ketika cakupan arti dahulu lebih luas daripada sekarang. Misalnya sarjana dan pendeta. Dulu orang menyebut sarjana untuk setiap orang yang pandai, namun sekarang sarjana hanya digunakan untuk menyebut orang yang lulus strata 1 (SI). Dulu pendeta berarti ‘orang yang berilmu’, sekarang dipakai untuk menyebut pemuka agama Kristen dan Hindu.

Bila dilihat dari fenomena penyempitan makna tersebut, emosi merupakan sebuah kata yang telah menyempit dengan salah kaprah, maka layak disebut sebagai kesalahan berbahasa. Kesalahan berbahasa adalah penggunaan bahasa secara lisan maupun tulisan yang menyimpang dari faktor-faktor penentu berkomunikasi dan kaidah bahasa. Kesalahan berbahasa dapat terjadi pada berbagai tataran, mulai dari fonologi; morfologi dan sintaksis; semantik dan kata; serta wacana. Kesalahan berbahasa pada kata emosi merupakan kesalahan berbahasa yang terjadi pada tataran kata yang secara semantik menghasilkan makna yang salah. Kesalahan berbahasa yang terjadi pada kata emosi disebut sebagai misatake, yaitu kesalahan berbahasa akibat penutur tidak tepat dalam memilih kata atau ungkapan untuk situasi tertentu.

Proses terjadinya kesalahan berbahasa berhubungan erat dengan proses pembelajaran bahasa. Berdasarkan hal tersebut, maka sosialisasi tentang kesalahan berbahasa sangat diperlukan oleh pengguna bahasa, terutama anak-anak agar kelak jika dewasa mampu menggunakan suatu bahasa dengan tepat.

Ada teori yang menyatakan, bahwa kesalahan berbahasa biasanya ditentukan berdasarkan ukuran keberterimaan. Apakah bahasa tersebut berterima atau tidak bagi penutur asli. Bila menerapkan teori tersebut, maka kata emosi yang disamakan dengan kata marah justru tampak tidak mengalami kesalahan berbahasa karena kata tersebut telah terkesan berterima bagi pengguna bahasa Indonesia. Maka dari itu, alangkah baiknya bila kita sebagai penutur bahasa Indonesia tidak lagi menggunakan kata yang salah kaprah dalam penggunaan bahasa sehari-hari.

Dengan memulai dari diri sendiri dan bersosialisasi dalam skala kecil tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, kita sudah turut menyumbang dalam pelestarian bahasa Indonesia. Jangan sampai ada kosa kata lain yang digunakan dengan salah kaprah hanya karena kita sebagai pemilik bahasa Indonesia tidak peduli dengan kaidah bahasa kita sendiri.

Apakah tulisan ini membantu ?

Ririn

I love reading and I love writing!

View all posts

Add comment