Soloensis

Mari Mentertawai Diri Sendiri

Saya selalu tertawa terpingkal-pingkal setiap kali mendengar komedian Cak Lontong mengucapkan kalimat ini,”Saya biasa berdiskusi soal marketing dengan pakar-pakarnya. Saya biasa mengajak diskusi Rhenald Kasali dan Hermawan Kartajaya, sayang mereka tidak mau…”
Materi stand up comedy yang beberapa kali diucapkan komedian Arie Keriting juga selalu membuat saya tertawa terbahak-bahak. Materi ini sebenarnya mengulas persoalan berat, yaitu minimnya fasilitas dan pelayanan kesehatan di Indonesia bagian timur.
Suatu kali, kata Arie Keriting, nama aslinya Satriaddin Maharinga Djongki, seorang ibu di pedalaman Sulawesi Selatan sakit keras. Keluarga dan tetangganya di kampung kebingungan.
Dukun tak mampu mengobati sakit si ibu itu. Mau dibawa ke rumah sakit harus menempuh jarak 200 kilometer. Seorang tetangga kemudian mengemukakan usul membawa si ibu itu ke rumah seorang dokter hewan yang tinggal di kampung tetangga, jaraknya tak terlalu jauh, bisa ditempuh dengan sepeda motor.
Sesampai di rumah dokter hewan itu, tetangga-tetangga si ibu yang sakit itu kemudian bergantian mengetuk pintu rumah. Mereka sampai di rumah dokter hewan itu saat malam hari.
“Ada apa?” kata dokter hewan itu setelah membuka pintu rumahnya.
“Maaf, Pak Dokter, ini tetangga kami sakit keras. Tolonglah…,” kata seorang lelaki tetangga si ibu yang sakit keras itu.
“Aduh, maaf, saya ini dokter hewan, kemampuan saya ya mengobati hewan yang sakit, bukan mengobati manusia,” kata dokter hewan itu.
“Tak apalah Pak Dokter, sama saja, ibu ini dulu waktu muda dikenal sebagai kupu-kupu malam….”
Dua materi stand up comedy yang saya kutip itu, dalam pandangan saya, mengandung kecerdasan luar biasa dalam menangkap fakta yang dihadapi dan terkait kesulitan yang dihadapi diri sendiri.
Ada kemampuan berlatar kecerdasan luar biasa untuk mengungkap kekurangan diri akibat kelemahan diri sendiri atau akibat lingkungan menjadi sebuah kritik yang cerdas dan mencerdaskan.
Cak Lontong, yang nama aslinya Lies Hartono, tentu dalam aktivitas kesenimanannya—sebagai komedian—menggunakan teori-teori marketing. Fakta pendukung bahwa Cak Lontong sangat paham teori marketing adalah “sering mengajak Rhenald Kasali dan Hermawan Kartajaya berdiskusi soal marketing”. Fakta sesungguhnya “diskusi itu tak pernah terjadi” karena Cak Lontong memang tak pernah bertemu Rhenald Kasali dan Hermawan Kartajaya untuk secara khusus menimba ilmu marketing.
Cak Lontong sesungguhnya sedang mentertawai dirinya sendiri. Sok-sokan jago marketing dengan “mencatut” Rhenald Kasali dan Hermawan Kartajaya, padahal sejatinya ya tak paham benar ilmu marketing ala dua pakar marketing itu.
Kisah yang dikemukakan Arie Keriting juga berperspektif mentertawai diri sendiri. Minimnya fasilitas kesehatan adalah hal jamak di Indonesia bagian timur. Mengkritik pemerintah, berdemonstrasi, dan aksi-aksi protes lainnya sia-sia. Fasilitas dan pelayanan kesehatan tak juga bertambah.
Daripada meratapi nasib karena termarginalkan dalam kebijakan pembangunan bangsa dan negara, wong Indonesia timur memilih tertawa, ya mentertawai diri mereka sendiri yang selalu termarginalkan. Walau demikian, mereka tetap mencintai Indonesia.

Bantal Lunak
Kemampuan mentertawai diri sendiri laksana bantal lunak untuk mengistirahatkan kepala yang terasa pusing sekaligus penat setelah mengomando tubuh beraktivitas. Mentertawai diri sendiri adalah katarsis untuk membebaskan diri dari kepenatan, ketegangan, kelesuan, kebosanana, dan hal-hal negatif lainnya yang potensial merusak diri sendiri.
Mentertawai diri sendiri butuh akal yang sehat, bahkan sangat sehat. Kemampuan mentertawai diri sendiri adalah wujud eksistensi manusia yang ditunjukkan oleh eksistensi akalnya. Descartes menekankan pentingnya akal dengan pernyataan “ketika aku berpikir maka aku ada”.
Dengan pengolahan dan penggerakan akal, realitas lingkungan akan turut bergerak pula. Mobilitas akan terjadi secara dinamis. Hal demikian inilah yang kemudian dirujukkan pada ungkapan Milan Kundera “saat manusia berpikir, Tuhan tertawa”. Silakan membaca buku Milan Kundera yang berjudul Kitab Lupa dan Gelak Tawa yang diterbitkan Bentang.
Pernyataan Kundera ini memunculkan pertanyaan: apakah Tuhan tertawa itu menunjukkan suatu kebanggaan terhadap manusia ataukah justru malah sebaliknya?
Untuk menjawabnya tinggal tumpuan berpikir kita ditujukan ke arah yang bagaimana. Jika orientasi berpikir kita positif, Tuhan akan bangga dengan misi kemanusiaan kita. Jika pola berpikir kita negatif dan buruk, Tuhan juga akan mentertawakannya.
Tuhan ”merendahkan” manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dengan karunia akal kepada manusia. Contohnya adalah perang. Berdasar ajaran-ajaran agama, jelas Tuhan membenci perpecahan, pertumpahan darah, dan kerusakan, tapi perang masih saja tetap terjadi.
Perang itu akibat akal manusia tak sanggup memfilter, menimbang, dan menilai dengan baik. Akal karunia Tuhan itu lemah. Saat itulah Tuhan mentertawai misi kemanusiaan kita. Kundera berpandangan kebajikan utama yang harus dikembangkan manusia adalah toleransi, humor, dan imajinasi.
Humor tidak hanya lelucon yang membuat orang tertawa terpingkal-pingkal. Humor bukan sekadar sesuatu yang menghibur. Humor, lelucon, bisa dibiaskan pada persoalan usaha membahagiakan serta menciptakan suasana yang menyenangkan bagi individu lain.
Humor akan maksimal berdaya dalam hidup kita ketika toleransi menjadi kredo hidup sehari-hari. Orang intoleran tak mungkin bisa menikmati humor. Memaknai “Tuhan tertawa” saja pasti tidak bisa. Imajinasi berkonotasi pada tindak berpikir untuk menciptakan sesuatu yang baru.
Humor muncul dari imajinasi yang “liar”, dalam makna positif. Imajinasi ini memunculkan kreasi, kreatif yang positif. Tiga rumus kebajikan itu saling menunjang dan mengisi satu sama lain. Ketiganya harus diaplikasikan secara bersama-sama. Kita tidak bisa meninggalkan salah satu di antara tiga itu.
Humor, toleransi, dan imajinasi itu dihidupkan oleh Cak Lontong dan Arie Keriting dalam lelucon-lelucon cerdas yang mereka kemukakan di banyak tempat dan forum. Lelucon berbasis perpaduan humor, toleransi, dan imajinasi juga saya temukan dalam berbalas “kicauan” antara dua putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dan adiknya Kaesang Pangarep.
Silakan Anda baca saling berbalas ”kicauan” itu di akun Twitter mereka, @Chilli_Pari dan @kaesangp. Anda yang rajin bermedia sosial dan memantau dunia ”pembenci” Presiden Joko Widodo dan ”pencinta” Presiden Joko Widodo—konon ini ekses paling konkret dari pemilihan presiden pada 2014–pasti mafhum dengan diksi-diksi “kecebong”, “kodok”, “pencitraan”, dan beberapa diksi lainnya yang jamak menjadi diksi untuk mengecam, memfitnah, bahkan melontarkan insinuasi terhadap Presiden Joko Widodo.
Oleh Gibran dan Kaesang diksi-diksi itu diubah menjadi bahan bercanda, bahan mentertawai diri mereka sendiri. Ada ungkapan kehangatan dan keakraban sebuah keluarga ketika Gibran atau Kaesang mengolah diksi-diksi serbanegatif terhadap Presiden Joko Widodo itu menjadi bahan lelucon, bahkan untuk menertawai diri mereka sendiri yang—mungkin—merasa sial menjadi anak Presiden Republik Indonesia.
Tanpa toleransi, tanpa imajinasi, tanpa selera humor yang tinggi mustahil dua anak Presiden Joko Widodo itu mampu membalik-balik logika menjelek-jelekkan dan bahkan memfitnah itu menjadi bahan lelucon yang membuat saya—dan mungkin juga Anda—turut terpingkal-pingkal membaca mereka saling berbalas ”kicauan” di Twitter.
Senyampang masih hari-hari pertama Januari 2016, saya mengajak Anda semua meneliti diri kita sendiri, mengoreksi diri kita sendiri, minimal atas semua tindakan kita selama setahun lalu dengan teknik mentertawai diri sendiri.
Pasti banyak hal bodoh, hal-hal yang tak seharusnya kita lakukan, tetapi ternyata kita lakukan yang kemudian berdampak merugikan diri kita sendiri dan mungkin juga orang lain. Dengan menertawai diri kita sendiri niscaya akan ketemu pelajaran berharga dari setahun berlalu kehidupan kita.
Tak perlulah kita ikut-ikutan mereka yang mengaku mendapat mandat langsung dari Tuhan untuk menilai manusia lain, menghakimi manusia lain, dan saat bersamaan merasa diri paling benar. Alangkah kasihan mereka jika saat mereka berlaku seperti itu ternyata Tuhan tertawa terbahak-bahak gara-gara melihat manusia-manusia yang Dia ciptakan sebagai makhluk tersempurna itu malah mencampakkan akal yang Dia karuniakan.

(Ichwan Prasetyo, jurnalis Solopos, naskah ini dimuat Solopos edisi Senin 4 Januari 2016)

Apakah tulisan ini membantu ?

ichwan prasetyo

Jurnalis, suka membaca, suka mengoleksi buku, sedih bila buku dipinjam (apalagi kalau tak dikembalikan), tak suka kemunafikan.

View all posts

Add comment